Breaking News
recent

Multi Kultural Masyarakat Matang Tepah Bersatu Dengan Bahasa Indonesia

ilustrasi : google
 Semilir angin berhembus melewati pepohonan yang tak begitu rindang, melewati tanah luas yang berbentuk petakan seperti kertas ular tangga yang sering dimainkan anak-anak di bulan Ramadhan. Angin berhembus dari arah timur ke arah barat menyinggahi rumah-rumah penduduk desa Matang tepah yang tidak begitu padat, debu juga ikut bersama angin kala desa itu mengalami musim kemarau yang berkepanjangan.

Angin mulai beraktivitas diketika cahaya matahari mulai mencari celah celah untuk menyelinap ke rumah-rumah penduduk desa itu, membuat masyarakat desa Matang tepah semangat untuk memulai aktivitas. Masyarakat desa matang tepah bermata pencaharian bermacam ragam, ada yang bertani, berkebun, ada yang bekerja di pemerintahan seperti guru, kantor, dan ada juga yang bekerja di perindustrian. Desa yang kaya akan padi ini, salah satu desa dari kecamatan Bendahara yang ada

dikabupaten Aceh Tamiang. Desa Matang Tepah merupakan desa yang memiliki penduduk kurang lebih sekitar 1500 jiwa, desa ini berjarak sekitar 16 KM dari ibukota kecamatan bendahara dan 12KM dari ibukota kabupaten Aceh tamiang.

Matahari seakan berada diatas pohon kelapa yang ada didekat sawah itu, menunjukkan bahwa pagi akan berganti siang, terdengar suara nyaring dari salah satu rumah yang ada didekat sawah itu “yowes, yowes..aku rapopo”, terdengar sahutan yang sedikit berbeda logatnya “koen, bek hana pue-pue, hana pue-pue, besok sudah kamu tanya lagi”, yang bersuara nyaring itupun menjawab, “iya,

iya saya tidak akan tanya tanya lagi”. Percakapan yang sudah sangat jelas dengan menggunakan bahasa yang berbeda, yang pertama bahasa Jawa, dan yang kedua bahasa Aceh, namun digabung dengan bahasa Indonesia. Suara-suara masyarakat Matang tepah bagaikan burung berkicau diwaktu pagi, dikarenakan masyarakat matang tepah berkomunikasi menggunakan banyak bahasa, namun bahasa Indonesia tetap dominan diantara semua bahasa. Masyarakat matang tepah merupakan masyarakat multikultural dengan beragam suku, ada yang penduduk asli, dan ada juga yang pendatang.

Angin kembali berhembus seraya membawa suara yang sangat merdu dan menyentuh qalbu seakan mengajak orang-orang untuk segera meninggalkan segala aktivitasnya. Azan sudah berkumandang dari Mesjid Babul Jannah dan Meunasah yang ada di desa itu, menunjukkan bahwa matahari sudah tergelincir. Orang-orang yang pergi shalat berjama’ah ke mesjid itu, dari kalangan orang dewasa, remaja dan anak-anak. Debu beterbangan kemana-mana saat orang-orang mulai keluar berjalan dari halaman mesjid, dan sambil menyapa satu sama lain. “bapak sudah pulang kerja ?”, bapak lurah itupun menjawab, “iya, saya sudah pulang kerja, jadi langsung ke mesjid supaya bisa shalat berjama’ah, kamu bagaimana, sudah selesai kuliah nya ?”, pemuda itu menjawab “hampir pak, sekarang saya sedang menyusun skripsi”. Masyarakat desa Matang tepah dengan berbagai macam suku; Aceh, Tamiang, Jawa, Gayo, Padang, Batak, dan juga ada etnis Tionghoa, yang sangat berbeda antara satu sama lain, tetapi semua itu tidak menjadi permasalahan bagi masyarakat desa Matang tepah, karena mereka tetap bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, walaupun Aceh menjadi suku mayoritas di desa itu. Bagi masyarakat desa itu, Negara Indonesia mempunyai bahasa wajib yaitu bahasa Indonesia, maka dengan berbahasa Indonesialah yang menyatukan mereka.

Gelak canda dan tawa menghiasi perjalanan pulang ke rumah anak-anak SD Negeri 1 dan anak-anak Paud desa Matang tepah itu. Mereka pulang bersama-sama dengan berjalan kaki sampai ke rumah masing-masing. Mereka tidak merasa harus diantar-jemput ke sekolah, karena bagi mereka berjalan kaki saat pergi dan pulang sekolah adalah sebagian dari bermain. Di sela-sela perjalanan pulang mereka ke rumah, salah seorang dari mereka mengeluarkan pertanyaan, “nanti kita buat PR sama-sama ya ?”,salah seorang temannya pun menjawab “iya, nanti kita kerjakan di gubuk dekat mesjid saja”. Sementara adik-adik yang masih Paud, yang ikut pulang berjalan kaki bersama-sama dengan mereka, tidak begitu memperdulikan setiap kata-kata atau cerita yang didengar dari kakak-kakak atau abang-abang nya.

Jam dinding berputar untuk segera menutup siang, syafak merah mulai memayungi desa Matang tepah dan seluruh Aceh Tamiang, tibalah malam yang telah dinanti-nanti oleh ribuan kunang-kunang. Sayup-sayup terdengar suara lantunan ayat suci Al quran yang sedang dilantunkan oleh seorang Tengku yang sedang membuka pengajian di balai pengajian desa itu. Murid-murid pun semangat mengikuti bacaan yang dibacakan oleh Tengkunya. Desa Matang tepah memiliki 3 balai pengajian dan 1 pesantren. Dengan memiliki 1 SD Negeri, 1 Paud, 3 Balai pengajian, 1 pesantren dan 1 mesjid dan meunasah, membuat desa ini menjadi desa percontohan bagi desa-desa yang lain. Demikian juga dengan berbagai macam perbedaan yang ada di desa ini, mulai dari suku, profesi dan strata sosial, tapi semua perbedaan itu dapat disatukan dengan komunikasi yang baik dengan menggunakan bahasa Indonesia. Suara jangkrik-jangkrik memecahkan keheningan malam, menandakan segala aktivitas masyarakat desa Matang tepah dihentikan, untuk beristirahat dan menyambut esok pagi yang cerah.
Penulis Indah Kusuma Sari Mahasiswi Komunikasi & penyiaran Islam (KPI) IAIN ZCK Langsa

Admin

Admin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.