Zawiyah News | Opini - Tidak bisa dipungkiri bahwa “kelahiran”
adalah hal yang paling menggembirakan, sehingga Islam menganjurkan pemeluknya
untuk mengekspresikan kesyukuran atas kegembiran itu lewat “perayaan” yang
dinamakan akikah. Anjuran perayaan itu menjadi tanda adanya pemuliaan atas
keberadaan manusia (takrīm al-nās) di muka bumi lewat pintu kelahiran.
Terlebih lagi, jika yang dilahirkan itu adalah manusia-manusia pilihan (nabi),
maka sejatinya harus dirayakan melebihi perayaan-perayaan peringatan kelahiran
manusia biasa. Namun, karena masih kuatnya pengaruh stigmatisasi ketiadaan teks
Alquran dan Hadis yang terkait dengan kelahiran para nabi, maka sebagian umat
Islam masih enggan memperingati kelahiran manusia-manusia pilihan tersebut.
Dalam konteks peringatan kelahiran ini, Isa as. dan Muhammad saw. adalah nama-nama yang paling sering
disebut dalam sejarah. Hari kelahiran dari kedua nabi ini senantiasa
diperingati oleh umat manusia dari tahun ke tahun, sampai istilah kelahirannya
pun harus dibedakan. “Natal” untuk Isa, dan “maulid” untuk Muhammad. Tulisan
ini hadir di hadapan pembaca, untuk menjawab stigmatisasi di atas.
Teks
Natal dalam Alquran
Dalam Alquran disebutkan: “Dan
“salām” semoga dilimpahkan bagiku, di hari kelahiranku, hari wafatku, dan hari
kebangkitanku hidup kembali.” (Q.S. Maryam/19: 33). Selain ayat di atas,
ada ayat lain yang memiliki kemiripan redaksi, yaitu ayat 15 pada surah yang
sama. Meskipun kedua ayat tersebut berhubungan pada konteks kelahiran, tetapi
menyasar dua orang yang berbeda. Ayat 15 berkaitan dengan Nabi Yahya bin Zakariya
as., sedangkan ayat 33 di atas adalah cuplikan perkataan Nabi Isa (Ibn Maryam)
as. Ayat yang terakhir inilah yang dimaksudkan sebagai ayat natal, tepatnya
pada penggalan kalimat: “Dan “salam” semoga dilimpahkan bagiku, di hari
kelahiranku.”
Para pakar tafsir berbeda pendapat
tentang penafsiran kata “salām” pada ayat 33 di atas. Al-Baghawī dan
al-Thabarī menafsirkannya dengan “salāmah wa amanah” (selamat dan aman).
Nabi Isa telah diselamatkan/terbebas dan aman dari segala fitnah setan
(perbuatan dan niat jahat) yang berusaha mencelakai diri dan kehormatannya saat
dan sebab kelahirannya yang tidak lazim (lahir tanpa ayah).
Menurut Ibn ‘Athiyah, “salām”
bukan hanya sekedar “selamat dan aman”, tapi juga sekaligus sebagai “tahiyyah”,
yaitu ucapan salam penghormatan Allah, berupa penganugerahan kemuliaan dan
ketinggian derajat kepada Nabi Isa. Al-Sya‘rāwī menambahkan, bahwa bukan tidak
mungkin bila kelahiran yang “fantastis” ini memicu terjadinya penganiayaan
terhadap anak yang dilahirkan. Akan tetapi berkat anugerah Allah, hal itu tidak
terjadi saat Nabi Isa dilahirkan. Bahkan Nabi Isa diberi kemampuan berbicara
dengan fasih, saat masih dalam buaian. “(Ingatlah) ketika Allah berfirman:
“Wahai Isa putra Maryam, ingat-ingatlah nikmat (yang telah) Ku (berikan) padamu
dan ibundamu, ketika aku kuatkan dirimu dengan roh kudus. Kamu mampu berbicara
di hadapan orang banyak saat masih dalam buaian.” (Q.S. al-Mā’idah/5:110).
Melalui ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Isa untuk mensyukuri nikmat
kelahirannya.
Dalam tradisi masyarakat sunni
asy‘arian, mensyukuri nikmat kelahiran biasanya diwujudkan dalam bentuk
perayaan atau peringatan hari lahir. Perayaan hari natal seharusnya dimaknai
sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahiran Nabi Isa. Jika pemaknaan seperti
ini diterima, maka sebenarnya natal bisa menjadi alternatif perayaan bagi
selain non-muslim, karena punya basis qurani. Namun ironi, hari natal terlanjur
dianggap sebagai perayaan khusus agama tertentu di luar Islam. Sehingga, umat
Islam tidak berhak merayakannya, bahkan mengucapkan “tahiyyah” natal
pun menjadi terlarang. Tetapi bukankah, hal ini mirip dengan kisah di masa Nabi
Muhammad?!. Kaum Yahudi Madinah merayakan dan mempuasakan hari ‘Asyura sebagai
ungkapan kesyukuran atas keselamatan Musa dari intimidasi Fir’aun. Lalu Nabi
Muhammad bersabda: “Kitalah yang lebih berhak mempuasakan hari tersebut”
(Shahīh al-Bukhārī) Terkait dengan hari Natal ini, penulis
mengandaikan sekelompok masyarakat muslim yang menyeru muslim lainnya dengan
mengatakan: “Kitalah yang lebih berhak memperingati dan merayakan hari
tersebut.”
Teks
Maulid dalam Hadis
Dari Abū Qatādah al-Anshārī ra.,
disebutkan bahwa Nabi Muhammad pernah ditanya tentang puasa Senin. Beliau
bersabda: “Itu adalah hari aku dilahirkan, diangkat menjadi nabi dan
diturunkannya kepadaku Alquran (pertama kali).” Ini adalah salah satu “part”
dari hadis panjang yang ditakhrīj oleh Muslim dalam Shahīh Muslim,
yaitu pada Kitāb al-Shiyām (13), Bāb Istihbāb Shiyām Tsalātsah
Ayyām min Kulli Syahr, wa Shaum Yaum ‘Arafah, wa ‘Āsyurā’, wa al-Itsnain wa
al-Khamīs (36), nomor hadis 1162. Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa
orang perawi, yaitu: Abū Qatādah al-Anshārī [w. 54 H, sahabat nabi], ‘Abdullāh
bin Ma‘bad al-Zammānī [tsiqah, guru Ghailān], Ghailān bin Jarīr [w. 129
H, tsiqah, guru Syu‘bah], Syu‘bah [w. 160 H, tsiqah hāfidz
mutqin, guru Muhammad bin Ja‘far], Muhammad bin Ja‘far [w.
293 H, tsiqah shahīh al-kitāb illā anna fīhi al-ghaflah,
guru Muhammad bin Basysyār], Muhammad bin Basysyār [w. 252 H, tsiqah,
guru Muslim], Muhammad bin al-Mutsannā [w. 252 H, tsiqah tsabat,
guru Muslim], dan Muslim bin al-Hajjāj [w. 261 H, tsiqah hāfizh
imām mushannif, murid Muhammad bin al-Mutsannā], (Taqrīb
al-Tahdzīb). Redaksi dan kandungan matan hadis Muslim ini relevan dengan
hadis Ahmad, dan fakta sejarah yang menyatakan bahwa Nabi dilahirkan
pada hari Senin, (Tārīkh al-Thabarī). Berdasarkan informasi sanad dan
matan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hadis riwayat Muslim berkualitas
sahih.
Al-Shan‘ānī berkomentar: “Adalah
pantas mengagungkan hari tersebut dengan berpuasa dan taqarrub, atas nikmat
yang telah dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya.” Jika Nabi Muhammad saw.
memperingati maulid dengan menahan lapar, maka umat Islam memperingati maulid
dengan selingan jamuan makan. Apakah ini kontradiksi? Pemahaman hadis secara
kontekstual menghendaki pemilahan ajaran nabi yang bersifat universal,
temporal, atau lokal. Ajaran yang bersifat universal dari hadis di atas adalah
keberadaan maulidnya. Sementara kegiatan maulid, bisa dilakukan dalam bentuk
pembacaan sejarah perjuangan Nabi, ceramah agama, pergelaran seni islami,
pemberian santunan anak yatim, diskusi ilmiah dan sebagainya, yang bersifat
temporal atau lokal.
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan
bahwa peringatan kelahiran Nabi Isa dan Nabi Muhammad punya basis qurani dan
hadis nabawi. Perayaan natal dan maulid hendaknya diniatkan untuk mensyukuri
nikmat yang telah diberikan Allah kepada kedua nabi ini dan berkah keberadaan
keduanya bagi umat manusia. Wallāhu a‘lam.
Oleh Dr. Asrar Mabrur
Faza, S.Th.I., M.A
Dosen Fakultas Ushuluddin Adab & Dakwah
Dosen Fakultas Ushuluddin Adab & Dakwah
- Hadisolog asal UIN Alauddin Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar