Ilustrasi oleh : Google
Warning :
Cerita ini hanya
fiktif belaka, nama, tempat dan kejadian adalah hal yang tidak disengaja,
cerita ini murni sebuah fiktif.
Konon katanya Torak
itu adalah sebuah pulau kecil yang dihuni oleh para pedagang yang datang dari
Cina dan juga menjadi tempat persingahan orang Cina sebelum memasarkan barang
mereka ke Langsa, salah satu kota di provinsi Aceh. Hal ini terjadi sebelum
abad berganti dan tahun kian berjalan, menggantikan masa kejayaan orang-orang
terdahulu yang tidak dapat diteruskan, maka pulau itu pun sekarang ditinggali
oleh orang-orang yang bermigrasi dari kota-kota dan kebupaten-kabupaten di Aceh
yang ingin mengadu nasib mereka di perantauan. Desas-desus terdengar kabar akan
betapa mudahnya mencari ikan dan mendapatkan uang yang mudah dipulau itulah
yang menghantarkan orang-orang menetap di pulau ini dan beranak-pinak disana.
Kini pulau itu dihuni oleh orang-orang aceh dan merupakan bagian dari kota
Langsa, orang-orang Cina yang dulu menghuni pulau itu pun tak lagi ada
bekasnya, kecuali hanya nama-nama tempat seperti Ujong Cina dan Pekong yang tertinggal
dan tak ada satupun tanda lainnya.
Sekarang,
pulau Torak telah menjadi tempat tinggal yang layak dan tempat untuk mencari
uang yang pantas, namun keterbatasan untuk menutut ilmu bagi anak-anak yang
tinggal disana, Sehingga pemerintah Aceh mendirikan sebuah sekolah SD di Torak.
Dengan hanya ada lima buah kelas dan satu ruang guru, maka jadilah sekolah itu
tempat satu-satunya bagi murid di pulau itu untuk menimba ilmu pengetahuan
duniawi. Status sekolah terpencil pun tersemat pada bagunan itu. Bukan hanya
itu saja, guru-guru pun di datangkan ke sekolah itu untuk mengajar setiap
harinya. Akan tetapi, tidak semua hal yang baru dapat berjalan dengan lancar
sesuai dengan harapan pemerintah. Hampir seluruh masyarakat yang ada disana
bukanlah jenis orang yang berpikiran terbuka dan sangat menentang adanya
hal-hal yang tidak berbau religius dan sekolah menurut mereka bukanlah suatu
hal yang penting. Anak-anak lelaki mereka akan mengikuti jejak mereka jika ayahnya
berprofesi sebagai nelayan dan anak-anak perempuan mereka akan menikah pada
saat ada pinangan datang, kehidupan yang sudah terjamin untuk mereka dan mereka
tidak butuh yang namanya sekolah, pendidikan duniawi dan sebagainya. Namun bagai sebilah pedang yang mempunyai dua
mata untuk menebas, begitupun masyarakat disini yang juga mempunyai dua sisi
yang berbeda.
Hampir semua
masyarakat disini sangat lah religius, semua orang beragama islam, sebuah
mesjid indah nan memukau mata didirikan di pusat pulau dan terletak disamping
sekolah. Ustad-ustad begitu dihormati,
rumah-rumah para Ustad ini pun menjadi tempat pendidikan agama islam yang
selalu di padati oleh murid-murid setiap
malamnya. Masyarakat berlomba-lomba memasukkan anak mereka yang rata-rata
berumur 4-15 tahun disini. Maka dari itulah masyarakat menolak kehadiran sebuah
sekolah dan mencaci maki kepala sekolahnya dengan anarkis dan mengatakan
sekolah itu tidak berguna dan hanya akan mengajarkan anak –anak mereka menjadi
kafir, Sterotif yang berkembang dimasa itu adalah alasan yang menjadikan
penduduk itu menolak hadirnya sebuah sekolah.
Lalu, disini
lah semuanya bermula, penolakan, intimidasi, amoral, kepercayaan, ketakutan, persaudaran dan kekecewaan
mewarnai kehidupan seorang pria, statusnya yang merupakan seorang guru pindahan
tak lantas membuat penduduk di daerah terpencil itu menghargai ataupun peduli
padanya. Tak lantas juga mengubah perilaku dan malah membenci pria ini karena
menggurui mereka.
Tahun 2000.
Riak
air menghempas ke dalam buritan perahu penumpang itu, sidik yang berdiri di
buritan perahu ikut terkena airnya sehingga baju dan celananya ikut basah.
“Sial” Umpatnya kesal, segera dia melangkah kembali ke dalam lindungan atap
perahu dan duduk di kursi penumpang, orang-orang yang berada di perahu yang
sama dengannya diam-diam menertawai kemalangannya. Sidik mengelap bajunya yang
basah dengan tangan dan membuang mukanya ke luar jendela perahu yang sedang
merayap diatas air payau yang berwarna hijau. Perahu itu melaju dengan kecepatan
normal, seseorang mengendalikan kemudinya di ruangan khusus yang terletak di
belakang perahu. Dengan asap rokok yang tak henti-henti keluar dari mulutnya.
Seseorang
yang duduk di sebelah sidik mencolek bahu sidik, pria itu menoleh dan menatap
seorang pria bertubuh kerempeng dengan baju dinas yang berwarna coklat tengah menawarinya sebatang rokok. Diambilnya
sebatang rokok itu dan dibakarnya puntung ujungnya dengan korek api yang
diberikan oleh orang itu. Orang itu mengamatinya, Sidik menjadi risih “Anda
berasal darimana?” Tanya Sidik pada orang yang menawarinya rokok itu, sesekali
dihembuskannya asap rokok yang telah penuh dimulutnya sehingga udara
disekitarnya pun bergumpal dengan asap nikotin. Pria itu tersenyum “Saya dari
bereunuen, “ Ucap pria itu. “Saya Sidik” nyata Sidik seraya mengulurkan
tangannya pada pria itu, disambutnya oleh pria itu tangan sidik dan digengamnya
dengan bersahabat. “Saya Sulaiman”. Ujar Sulaiman seraya tersenyum dengan
kepala yang mengangguk-angguk. Setelah selesai berjabat tangan Sidik pun
melihat sekitar, perahu sudah hampir mendekati bhom * “Anda darimana?”
Tanya Sulaiman kemudian. “Saya dari tromp” ucap Sidik dengan cepat,
bersiap-siap berdiri dan diikuti oleh Sulaiman ketika perahu bersiap untuk
bersandar di dermaga dan menurunkan penumpang.
Ditatapnya
ke atas, tempat dimana beberapa orang yang juga berbaju dinas berdiri menanti
mereka, rombongan guru pindahan yang akan mengajar di pusong, di dalam perahu
yang sama dengan Sidik sekitar enam orang termasuk sidik ialah guru pindahan
itu. Setelah perahu bersandar dan seorang awak perahu mengikat tali untuk
menambat perahu di sebuah kayu besar yang terpancang disana. Barulah para
penumpang boleh naik ke atas dermaga yang berada sekitar satu setengah meter
dari badan perahu. Seseorang membantu penumpang untuk menaiki dermaga diatasnya
dengan mengulurkan tangannya. Sidik mengabaikan orang itu dan memilih sisi lain
dermaga yang terbuat dari kayu dan telah di cat dengan solar itu lalu dengan
sekali lompat, Sidik sudah sampai diatas. Angin berderu menerbangkan rambutnya
yang sedikit panjang, bau laut yang amis dan segar segera dihidu olehnya. Tak
lama kemudian Sulaiman pun menyusulnya dan berdiri di sebelahnya.
“Entah
bagaimana kedepannya, kuharap semua akan baik-baik saja” Ucap Sulaiman seraya
memandang kedepan. Sidik kembali
melanjutkan langkahnya, menghampiri seseorang yang tersenyum melihat kedatangan
mereka. “Selamat datang di pulau Torak, kuharap perjalanan kalian berjalan
lancar” Sambut pria berbaju dinas itu dengan senyum lebar, Sidik dan pria itu
berjabat tangan lalu mereka beramah-tamah sebentar sebelum kembali melakukan
hal yang sama kepada Sulaiman.
Setelah
disambut oleh kepala sekolah dan guru-guru yang sudah lama berada disini,
mereka pun melanjutkan perjalanan, menyusuri rumah-rumah warga dan jalan-jalan
yang disemen. Banyak orang setempat yang melongok kepalanya keluar atau menatapi rombongan guru itu sepanjang
perjalanan, senyum ramah, pandangan penasaran, muka masam, tidak peduli,
cemoohan tersembunyi, dapat dilihatnya sepanjang perjalanan.
“Penyakit
sudah bertambah lagi” Ujar seorang ibu-ibu yang sedang duduk di teras rumahnya
dengan teman sebayanya, mereka sedang bergosip sebelum perhatian mereka
teralihkan pada rombongan guru yang terdiri dari sepuluh orang sedang melewati
jalan didepan rumahnya. “Tidak ada gunanya sekolah, pemerintah melakukan
hal-hal yang sungguh sia-sia, lebih baik memberikan modal untuk kita daripada
mengaji guru-guru yang hanya akan menyesatkan anak-anak kita saja”
“itu benar!”
Bersambung....
Penulis :Eka sonia
mahasiswi prodi Bahasa Inggris di Iain Zawiyah Cotkala Langsa
Bersambung....
Penulis :Eka sonia
mahasiswi prodi Bahasa Inggris di Iain Zawiyah Cotkala Langsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar