Zawiyah News | Opini - Sampai hari ini sistem patriarki masih tetap menjadi budaya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Yang dimana menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan mendominasi dalam berbagai bidang seperti moral, politik, sosial, bahkan penguasaan properti. Dikarenakan laki-laki sering menjadi subjek pertama yang mendominasi, maka wanita sering menjadi subjek ke dua yang memperoleh tindakan diskriminasi maupun eksploitasi.
Konsep gender sebenarnya merupakan hasil dari gagasan yang di konstruksikan oleh masyarakat, dan konsep ini digunakan untuk melemahkan posisi perempuan karena diartikan sebagai kodrat yang diberikan Tuhan secara lahiriah. Maka dari sini lah muncul berbagai macam kekerasan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan, sehingga muncul stigma bahwa kaum maskulin yang memegang kuasa dan mendominasi.
Orang-orang memiliki perspektif bahwa nelayan itu merupakan julukan yang disematkan untuk laki-laki yang bekerja menangkap ikan di laut. Padahal nyatanya, hal tersebut tidak sepenuhnya benar.
Sebagai contoh kaum nelayan wanita di Demak, Jawa Tengah. Hingga hari ini undang-undang masih mengelompokkan perempuan nelayan sebagai bagian dari rumah tangga para nelayan. Hingga hari ini mereka belum mendapat pengakuan. Mereka masih menuntut agar keberadaan mereka diakui oleh hukum dan negara sehingga mendapat akses dan bantuan seperti asuransi nelayan.
Hal yang mengharukan ketika mereka mencoba melakukan audiensi dengan DPRD Provinsi Jateng, salah satu anggota Dewan di sana berpendapat bahwa profesi perempuan nelayan itu adalah nista. Karena seharusnya perempuan itu di rumah dan dimuliakan.
Subordinasi gender yang terjadi saat ini mungkin lebih tersusun apik menggunakan jargon-jargon yang mengatas namakan pembangunan yang disebarkan oleh dunia Barat kepada Dunia Ketiga.
Ide pembangunan ini merupakan buah dari pemikiran modern yang mengutamakan kemajuan teknologi dan manusia berperan penting di dalamnya sebagai faktor krusial.
Namun, upaya pembangunan yang modern ini, pada kenyataannya perempuan masih mengalami keterbelakangan. Sekalipun gagasan ini diusung untuk kemajuan peradaban manusia, namun patut di waspadai bahwa ini merupakan cara dunia Barat menyebar luaskan budaya patriarki.
Menilik lagi dari konsep pembangunan, alam dan manusia memiliki keterikatan yang tidak bisa di pisahkan dan menarik utuk kita cermati. Manusia memandang alam sebagai objek yang sangat berharga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Nyatanya saat ini manusia dan alam semakin hari semakin jauh. Manusia saat ini berusaha meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari alam, meskipun mereka harus menguras hingga titik terdalam terhadap apapun yang dimiliki oleh alam.
Hutan yang seharusnya menjadi paru-paru dunia, sumber air, dan oksigen sebagai kebutuhan vital manusia kini tergerus oleh kepentingan-kepentingan yang mengejar jumlah kuantitas tertentu saja.
Vanda Shiva merupakan wanita yang berkebangsaan India, mengungkapan bahwa ada sisi feminim yang dimiliki oleh alam. Dan hal ini menunjukkan adanya keterikatan anatara perempuan dan alam.
Alam dan perempuan adalah penyelenggara kehidupan, karena perempuan memiliki rahim untuk memproduksi seperti alam memproduksi. Hal ini yang menyebabkan perempuan dan alam sering menjadi objek eksploitasi.
Contoh bentuk eksploitasi wanita dan alam adalah ketika menyamakan bentuk tubuh wanita dengan hewan ataupun tumbuhan. Seperti “bibirnya semerah demila,” atau “alisnya seperti ulat bulu.” Selanjutnya timbul sebuah pertanyaan, apakah menghubungkan antara perempuan dan alam adalah tindakan memberdayakan atau malah menjadi sebuah penindasan?
Sebenarnya hierarki adalah biang keladi dari sebuah dominasi. Dominasi ini terjadi antara dua subjek. Seperti hal nya laki-laki adalah kepala keluarga, maka wanita sebagai subjek ke dua yang mengurus hal-hal yang di perlukan dalam rumah tangga.
Dikarenakan, laki-laki menjadi seorang pemimpin dan sebagai subjek utama, maka wanita sebagai subjek kedua ini sering dijadikan bahan eksploitasi dan tindakan semena-mena laki-laki. Dan sering kali wanita dianggap lemah tanpa laki-laki. Begitu juga alam, manusia menganggap bahwa alam tidak bisa hidup tanpa adanya manusia. Padahal kenyataannya alam beserta isinya telah ada sebelum manusia ada.
Maka dari sinilah teori ekofeminisme yang dicetuskan oleh Vandana Shiva yang berasal dari India berkembang.
Ekofeminisme menawarkan sebuah konsep human behavior, konsep ini mengutamakan pada kepentingan sebuah pengakuan atas keadaan saling ketergantungan kita terhadap satu sama lain. Baik antara laki-laki dan perempuan, maupun manusia dan alam. Keadaan saling ketergantungan ini merupakan sebuah kondisi fundamental yang tidak dapat di ganggu gugat oleh manusia.
Hal tersebut juga dapat merubah pola pikir hierarki yang menempatkan wanita lebih rendah dari laki-laki, dan manusia lebih tinggi dari pada alam.
Penulis : Lili Nurma Yanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar