Breaking News
recent

BAHASA INDATU MULAI PUNAH?

Essay-Sangat disayangkan perkembangan zaman ternyata merebut paksa tradisi berbahasa suatu daerah. Saya terenyuh melihat masyarakat Aceh yang mulai tidak berminat menggunakan bahasa Aceh dalam aktivitas sehari-hari. Tak usah jauh, dikalangan para orang tua pun kini mulai jarang berbicara bahasa Aceh. Padahal, Bahasa Aceh adalah bahasa tradisional masyarakat lokal alias bahasa Indatu (nenek monyang).  Jika hal ini terus terjadi ada kemungkinan besar kelak anak dan cucu kita hanya mengenal sejarah lama saja tentang bahasa Aceh. Sangat miris membayangkan jika kelak bahasa Aceh hanya tinggal lirik-lirik nyanyian indatu saja. Lirik-lirik yang akan diperkenalkan sebagai kenangan-kenangan bahwasanya bahasa Aceh seperti itu.

“Ngerti apa yang kalian bilang. Tapi kalau jawab pakai bahasa Aceh enggak bisa,” ucap teman-teman ketika saya bertanya dengan bahasa Aceh. Sebenarnya ia keturunan Aceh, tinggal di Aceh tapi tidak bisa berbahasa Aceh, peristiwa begini sering kita temui dalam kalangan remaja sekarang. Padahal bahasa merupakan jati diri suatu bangsa dan daerah. Bahasa Aceh adalah peninggalan indatu yang sangat berharga. Bahasa Aceh menyimpan kekayaan budaya bagi bangsa yang bisa kita banggakan. Khususnya daerah Kota Langsa, dalam aktivitas sehari-hari penuduk setempat jarang yang menggunakan bahasa Aceh. Saya melihat banyak yang menggunakan  bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Pun demikian remaja yang saya temui di alun-alun Kota Langsa (lapangan merdeka), tempat hiburan dan lingkungan sekitar rumah. Banyak dari mereka yang mulai berbasa gaul yaitu bahasa kekinian diera ala anak melineal. Namun, bukan berarti tidak ada yang menggunakan dialeg bahasa Aceh, ada tapi hanya hitungan jari saja. Saya sangat menghargai dan bersyukur jika mendapati seseorang berbicara bahasa Aceh yang bercampuran dengan bahasa Indonesia istilahnya ‘Itek lep-lap’ setidaknya masih ada kebangaan dalam dirinya untuk berbahasa Aceh. Bahasa Aceh adalah jati diri bagi masyarakat Aceh. Bahasa Aceh sendiri memiliki kekayaan bahasa lebih kurang tiga belas dialeg yang berbeda-beda. Sejak kecil, bahasa Aceh sudah menjadi bahasa penghantar kita dalam berkomunikasi di lingkungan keluarga. Karena bahasa Aceh adalah bahasa ibu, yang telah ada sejak dulu.

“Baroe eh nan dijak meu bahasa Aceh pih hanjeut le, dari manyak ka pajoh asam sunti, yak peu tilo-tilo roe bak peugah haba.” (baru segitu dia pergi udah tidak bisa lagi berbahasa Aceh. Dari kecil sudah makan asam sunti sudah  tidak jelas lagi kalau ngomong bahasa Aceh). Sindiran-sindirian yang sering dilontarkan masyarakat Aceh atau penutur Aceh kepada orang yang tidak bisa berbahasa Aceh. “Nek keuh Aceh, mak keuh Aceh, Ayah pih Aceh. Troh bak aneuk ka hanjeut.” (nenekmu orang Aceh, mama Aceh dan ayah juga Aceh. Sedangkan anak sudah tidak bisa berbahasa Aceh).

Diantara penyebab malas bertutur bahasa Aceh

Penurunan minat muda-mudi dan masyarakat dalam menggunakan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari dapat memicu kepunahan kekayaan bahasa Aceh itu sendiri. Saya tidak tahu pasti menggapa hal demikian terjadi dikalangan masyarakat lokal. Tetapi ada sebagian penyebabnya adalah gensi dan malu bertutur bahasa Aceh karena orang yang berbicara bagasa Aceh diangap norak alias meugampong (kampungan). Meugampong dan meudhok merupakan ejekan yang sering disematkan kepada orang yang bertutur bahasa Aceh dengan fasih oleh orang-orang yang mulai menggunakan bahasa gaul dan sudah terbiasa berbahasa Indonesia. Ejekan yang dilontarkan membuat seseorang kehilangan kepercayaan diri sehingga enggan kembali berdialeg lokal. Ejekan ini juga pernah saya sandang saat berbicara dengan teman sekolah, mereka menertawakan saya dan juga meniru-niru perkataan yang pernah saya ucapkan dalam bahasa Aceh.

 

Kebiasaan berbahasa Indonesia itu tidak salah, yang salah adala kita yang melupakan kebudayaan atau aksen Aceh. Baik di kota maupun perdesaan sudah terbiasa bercakap-cakap mengunakan bahasa Indonesia. Sebenarnya, tidak semua seta merta salah para remaja yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Lingkungan juga merupakan faktornya baik lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat yang tidak membiasakan untuk berbahasa Aceh menjadi penghambat remaja bisa berbahasa Aceh karena tidak banyak kosa kata yang didapatkan. “Gimana mau bisa bahasa Aceh, sekitar rumah Aku aja enggak banyak yang ngomong pakek bahasa Aceh. Masyarakat setempat lebih suka ngomong pake bahasa Indonesia,” ucap salah satu teman yang saya tanya kenapa tidak mau  berbahasa Aceh.

Lingkungan keluarga sangat berperan penting dalam menjaga keindahan bahasa Aceh, sayangnya tidak semua orang tua mengajarkan bahasa Aceh dan ada sebagian orang tua meminimalisir menggunakan bahasa Aceh. Saya sering melihat orang yang bersuku Jawa, di manapun mereka berada bahasa daeranya serta kebuayaannya tak pernah hilang. Mereka tidak segan-segan menggunakan logat Jawa yang begitu kental ketika berbicara. 

Begitu juga dengan suku Gayo, mereka tidak pernah menghilangkan identitas mereka sebagai orang Gayo sekalipun mereka kelihatan kampungan atau aneh dimata masyarakat lainya. Mereka bangga dengan budaya yang ditinggalkan indatunya (nenek moyang).

Berbicara tentang bahasa Aceh, tetangga saya yang bukan suku Aceh sangat antusias saat orang orang-orang mulai bercakap-cakap. Tetangga tersebut juga seringg menggunakan bahasa Aceh saat berkomunikasi. Hal itu membuat saya senang sekaligus malu, bagaimana tidak! yang tidak bersuku Aceh saja mau belajar dan berbicara menggunakan bahasa Aceh, lalu menggapa dengan kita merupakan bahasa ibu ingin dilupakan! atau perlahan musnah dimakan zaman?.

Setelah saya telaah, ternyata kurangnya minat remaja dan masyarakat lokal enggan untuk berbicara menggunakan bahasa Aceh karena kurangya kesadaran dan kecintaan akan bahasa Aceh itu sendiri. Tidak adanya motivasi dari orang-orang sesama suku Aceh untuk berbasa Aceh. Dan ketika berinteraksi lebih sering menggunakna bahasa Indonesia sehingga mereka lebih terbiasa berbahasa Indonesia dari pada bahasa Aceh.

Satu gerakan cinta bahasa Aceh

Kurangnya kepercayaan diri remaja dan masyarakat lokal dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Aceh dapat kita atasi. Sebenarnya, jika kita bersama-sama sebagai orang Aceh mengambil langkah untuk pembiasaan berkomunikasi dalam bahasa Aceh khusus untuk masyarakat yang bersuku Aceh ada kemungkinan remaja pun akan terbiasa dengan bahasa Aceh . Pertama kali yang harus kita lakukan adalah merubah minset kita tentang bahasa Aceh itu enggak penting ke bahasa Aceh itu jati diri dan juga budaya dari indatu. Aku harus bangga berbahasa Aceh.

Penulis adalah mahasiswa IAIN Langsa, semester delapan jurusan PGMI  fakultas Tarbiah

 
Admin

Admin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.