Essay- Kata milenial sudah tidak asing lagi didengar di zaman sekarang. Milenial adalah sebutan sebuah generasi yang dimana sekelompok orang pada generasi ini sudah memasuki usia remaja dan dewasa. Kisaran usianya 12-35 tahun.
Di zaman milenial ini, penggunaan bahasa asing menjadi
jembatan dunia, terutama bahasa Inggris. Tanpa melupakan bahasa ibu (mother language: bahasa Indonesia), bahasa Inggris sendiri penting untuk
dipelajari dan diaplikasikan karena bahasa Inggris adalah salah satu bahasa
yang diakui PBB sebagai bahasa internasional. Bahasa Inggris di Indonesia juga
dijadikan sebagai bahasa universial dalam dunia pendidikan, teknologi, politik,
dan lain sebagainya. Bahasa Inggris juga sebenarnya sudah diterapkan di dunia
pendidikan sejak duduk di bangku Taman Kanak (TK).
Berbicara tentang bahasa Inggris, ternyata peran penting
penggunaannya hanya dimata sebagian anak milenial, terutama anak milenial yang
canggih. Canggih dalam KBBI adalah bergaya intelektual. Anak milenial yang
canggih didefinisikan sebagai anak yang melek terhadap perkembangan digital di
era sekarang. Mereka mampu berbahasa Inggris karna setiap hari mereka selalu
menggenggam gadget yang biasanya
sering ditemukan banyak kosa kata dalam bahasa Inggris. Sehingga teknologi berkaitan erat dengan bahasa
Inggris.
Namun untuk sebagian anak milenial, bahasa Inggris
masih dianggap sebagai bahasa yang tidak begitu penting untuk dipelajari oleh
mereka karena berbagai alasan. Alasan utamanya adalah tidak bisa mengucapkan
dan tidak memiliki kemauan untuk belajar bahasa Inggris. Terlihat dari salah
satu daerah di Kota Langsa, yaitu desa penulis sendiri di Matang Seulimeng. Penulis
menemukan banyak kalangan remaja di Matang Seulimeng tidak bisa berbahasa
Inggris, sekalipun hanya memperkenalkan diri dengan bahasa Inggris. Sebenarnya
ada banyak faktor yang membuat mereka kesulitan mempelajari bahasa Inggris.
Berikut faktor – faktor penyebabnya:
1.
Tidak
ada kemauan untuk belajar.
Hal utama yang sebenarnya menjadi pengaruh besar tidak bisa berbahasa Inggris adalah diawali dengan tidak ada kemauan untuk belajar. Padahal selama dibangku sekolah, pemerintah menetapkan pelajaran bahasa Inggris sebagai salah satu mata pelajaran yang penting. Namun sekeras apapun usaha, jika tidak ada kemauan untuk mempelajarinya hanya akan menjadi sia sia. Mereka hanya menjadi siswa pasif yang dimana belajar sewajarnya lalu dilupakan begitu saja ketika jam pelajaran berakhir. Itu kenapa tidak jarang masih banyak anak milenial yang tidak bisa menulis, mengucapkan, membaca, dan mendengar bahasa Inggris dengan baik.
2. Tidak ada dukungan.
Tidak adanya dukungan dari lingkungan. Lingkungan kerap kali denial dengan kemauan mereka untuk menerapkan bahasa Inggris. Teman – teman bahkan orang tua mereka sekalipun sering mengejek untuk tidak perlu berbicara bahasa Inggris jika diluar sekolah dan menganggap tidak ada bule dikampung yang mau berbicara bahasa Inggris. Ironinya, ketika mereka bisa berbahasa Inggris, malah dijadikan sebuah kebanggaan. Padahal untuk di era sekarang, bahasa Inggris bukan menjadi sebuah kebanggaan, tetapi menjadi sebuah keharusan untuk bisa berbahasa Inggris.
3. Bahasa daerah lebih baik daripada bahasa asing.
Dalam Ethnoloque (2012)
disebutkan bahwa terdapat 726 bahasa di Indonesia. Sebagian masih akan
berkembang, tetapi tidak dapat diingkari bahwa sebagian besar bahasa itu akan
punah. Pelindungan terhadap bahasa daerah didasarkan pada amanat
Pasal 32 Ayat 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Bahasa daerah
memang termasuk salah satu aset daerah yang tetap harus dilestarikan, namun
akan lebih baik untuk anak milenial memperkaya bahasa dengan mempelajari bahasa
asing. Ketika bertanya kepada murid di desa Matang Seulimeng
tak jarang jawaban mereka diawab dengan campuran bahasa Indonesia dan bahasa
daerah yaitu bahasa Aceh sendiri. “Susah
kak ngomong bahasa Inggris, hanjeut hai” ucap Zuhra seorang siswa SMP.
Tiga
uraian diatas adalah faktor terbesar penyebab anak milenial tidak memperdulikan
pentingnya berbahasa Inggris. Faktor pendukung lainnya adalah mental, malas
berlatih, dan tidak memiliki lawan bicara bahasa Inggris. Mental setiap orang
tidak dapat ditebak, ada yang memiliki tingkat percaya diri yang tinggi
sehingga terus berlatih setiap hari untuk belajar bahasa Inggris. Ada juga yang
belum memulai namun sudah tidak ingin berlatih, karena merasa tidak mampu untuk
berbahasa inggris. Faktor selanjutnya karena malas berlatih. Ketika anak
milenial mampu berbahasa Inggris namun malas untuk berlatih terus menerus, maka
perlahan skill yang telah dipelajari
akan sia sia. Faktor terakhir adalah karena tidak memiliki lawan bicara.
Padahal di era sekarang, alasan tersebut tidak berlaku lagi. Teknologi semakin
canggih, ada beragam jenis sosial media yang dapat diakses, anak milenial
seharusnya tahu dengan siapa mereka berbicara ketika di lingkungan sekitar
mereka tidak memiliki lawan bicara bahasa Inggris. Contohnya Facebook yang memiliki akses dengan
orang – orang dari berbagai negara.
Dewasa
ini, kemampuan bahasa Inggris memiliki keterkaitan dengan kemajuan suatu negara.
Belajar bahasa Inggris bukan suatu kewajiban untuk mencari nilai tertinggi di
sekolah atau di kampus, namun menjadi bekal untuk masa depan setiap individu.
Anak milenial harus menghadapi era globalisasi yang semakin menantang. Bahasa
Inggris lah yang akan menjadi salah satu kunci untuk menghadapinya dalam
berbagai sektor.
Semakin
meningkatnya kecanggihan teknologi yang ada sekarang, ada banyak cara dan akses
untuk mempelajari bahasa Inggris. Anak milenial dapat belajar melalui internet,
buku, aplikasi dan lain sebagainya. Hal yang perlu diperhatikan dalam belajar
bahasa Inggris adalah dengan mempelajari basic
skill terlebih dahulu seperti perkenalan, memperbanyak kosa kata, berlatih
membaca dan mendengar lagu atau menonton film barat. Generasi penerus bangsa
ini seharusnya memiliki banyak waktu untuk membentuk kualitas yang lebih baik
dalam berbahasa Inggris.
Selain
itu, peran pengajar (guru atau dosen) juga penting dalam membentuk bahasa
Inggris untuk anak milenial. Guru dan dosen harus memperhatikan metode dan cara
mengajar yang efektif untuk diterapkan selama proses belajar sehingga dapat
diserap dengan baik oleh murid sebagai generasi milenial.
Penulis: Cut Intan
Kausar, Mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan IAIN Langsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar