![]() |
Ilustrasi : (Google) |
Zawiyah News | Serba Serbi - Disadari
atau tidak, diakui atau tidak, manusia secara umum, baik saya, mungkin Anda,
dan mungkin yang lainnya, kita menerapkan standar ganda dalam menghukumi segala
sesuatu. Pernah dengar pernyataan "Jika Anda terlahir dengan fisik yang
menarik, maka sebagian besar masalah Anda sudah terselesaikan". Diakui
atau tidak, itulah realitanya, manusia adalah makhluk visual. Secara umum,
dunia ini menganut asas "Keadilan sosial bagi masyarakat yang good
looking"
Standar
ganda adalah ukuran moral dengan membuat penilaian terhadap subjek yang
berbeda, dinilai secara tidak sama dalam suatu kejadian atau objek serupa yang
terkesan tidak adil dan proporsional.
Jika
kita aktif dalam berselancar di media sosial, kita pasti sering melihat
perbedaan penilaian berdasarkan ukuran kecantikan/ketampanan, kekayaan, dan
kepopuleran.
Mari
kita ambil contoh kasus saat vokalis kangen band berinisial AM dan artis muda
ternama JN tersandung narkotika jenis ganja. Yup, keduanya masuk penjara.
Bedanya? A si vokalis dihujat dan dibully habis-habisan. Sementara JN mendapat
banyak dukungan dan perhatian.
Sejak
remaja, sadar atau tidak kita sering melihat atau bahkan memperlakukan orang di
sekitar kita dengan standar ganda. Hal ini seperti habit dan kebiasaan yang
sudah terjadi sejak lama di lingkungan tempat tinggal, sekolah, maupun
tongkrongan. Dimana penilaian pertama seseorang terhadap orang lain adalah
parasnya.
Kenapa
itu bisa terjadi? Karena pada dasarnya manusia itu subjektif.
Saya
bilang begitu karena kita menilai semuanya sesuai dengan tangkapan indera,
perasaan, pengalaman hidup masing-masing (dan masih banyak lagi).
Semua
orang punya penilaian sendiri tentang apa yang mereka pikir benar atau salah.
Apalagi bangsa kita yang terdiri atas jutaan perbedaan? Hampir mustahil
menetapkan standar tunggal di antara masyarakatnya.
Mungkin
kita jadi berpikir,
"Oh
iya ya, mungkin ini alasan pentingnya hukum?? "
Yap
benar sekali, saya setuju. Tapi kalau kita mau berbagi kenyataannya, dalam
hukum sendiri masih ada banyak perbedaan interpretasi, atau bahkan dalam
pasalnya sendiri ada yang bisa menguatkan sekaligus melemahkan pasal lainnya.
Lah
kok bisa? Ya, balik lagi, karena pencipta , penegak dan pelaku hukum itu
sendiri manusia.
Di sini,
saya gak mencoba menormalisasikan standar ganda seolah itu adalah hal yang bisa
diterima. Saya sendiri percaya kalau tiap manusia akan selalu berusaha menjadi
seadil mungkin dan sesempurna mungkin.
Kalaupun
anda merasa masyarakat kita terlalu berstandar ganda, percayalah anda juga
sebenarnya mengambil bagian dari itu.
Penulis adalah Silvia, Mahasiswa Prodi KPI Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Langsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar