(Doc. Istimewa) |
Zawiyah News | Serba Serbi - Kopi
Gayo merupakan salah satu komoditi unggulan yang berasal dari Dataran Tinggi
Gayo. Perkebunan Kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1908 ini tumbuh subur
di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, serta Gayo Lues.
Gayo
sendiri merupakan nama suku asli yang mendiami wilayah ini. Mayoritas
masyarakat Gayo berprofesi sebagai petani Kopi. Produksi Kopi Arabica yang
dihasilkan dari Tanah Gayo merupakan yang terbesar di Asia.
Kopi
Gayo merupakan salah satu kopi khas Nusantara asal Aceh yang cukup banyak
digemari oleh berbagai kalangan di dunia. Kopi Gayo memiliki aroma dan rasa
yang sangat khas. Kebanyakan kopi yang ada, rasa pahitnya masih tertinggal di
lidah kita, namun tidak demikian pada kopi Gayo. Rasa pahit hampir tidak terasa
pada kopi ini. Cita rasa kopi Gayo yang asli terdapat pada aroma kopi yang
harum dan rasa gurih hampir tidak pahit. Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa
rasa kopi Gayo melebihi cita rasa kopi Blue Mountain yang berasal dari Jamaika.
Kopi Gayo Aceh Gayo dihasilkan dari perkebunan rakyat di dataran tinggi Gayo,
Aceh Tengah. Di daerah tersebut kopi ditanam dengan cara organik tanpa bahan
kimia sehingga kopi ini juga dikenal sebagai kopi hijau (ramah lingkungan).
Kopi Gayo disebut-sebut sebagai kopi organik terbaik di dunia.
Kopi
beras berasal dari buah kopi basah yang telah mengalami beberapa, diantaranya
adalah pengolahan basah dan pengolahan kering.
Konflik kekerasan yang
luas dan berkepanjangan di Aceh meninggalkan warisan negatif di dalam
masyarakat yang terpapar. Salah satu elemen modal sosial yang tergerus ialah
rasa saling percaya atau mengkristalnya kecurigaan yang berlebihan.
buah kopi digiling agar
pecah kulitnya. Setelah pecah kulit, biji kopi dicuci. Kemudian di jemur kurang
lebih selama 4 hari di bawah sinar matahari. geringan ini kita mengandalkan
sinar matahari karena kalau pakai oven akan mengubah citarasanya. Setelah
dijemur, akan digiling kembali untuk menghilangkan cangkang yang masih
menyelimuti biji kopinya.
Meskipun
kecurigaan kerap memberikan rasa aman dalam kondisi konflik kekerasan, tapi
ketika perdamaian hadir, perasaan curiga yang masih melekat dapat mengganggu
konstruksi koeksistensi masyarakat menuju rekonsiliasi. Namun dengan
berkembangnya budaya kopi yang cukup massif, muncul peluang menjanjikan untuk
mengkonstruksi koeksistensi dalam masyarakat paska konflik di Aceh.
Oleh karena
itu, kajian ini menggunakan pendekatan naratif dalam menguraikan potensi budaya
kopi dalam mengkonstruksikan koeksistensi masyarakat paska penjajahan belanda
jaman dulu.
Namun begitu, ada
pertalian erat antara budaya kopi, khususnya pada masyarakat paska konflik. Budaya kopi khususnya sebagai proses, bukan hanya menjadi mekanisme koeksistensi
masyarakat paska konflik, bahkan menjadi instrumen pembangunan perdamaian
dengan cakupan yang luas ekonomi, sosial dan politik.
Bersandar pada
perkembangan budaya kopi di Aceh yang semakin populer dan keadaan transisi
paska konflik yang terus berjalan sejak 2005, maka dengan menggunakan
pendekatan naratif.
masyarakat Aceh paska
konflik. Selain mengenai instrumen dan keadaan yang mendukung proses kohesi,
ruang publik menjadi platform penting dalam berjalannya proses tersebut.
Secara
konseptual, ruang publik merupakan ruang sosial dimana anggota masyarakat
(individu) mendiskusikan segala sesuatu dan membentuk opini atau wacana, ruang
publik setidaknya memiliki tiga unsur utama yang berkaitan dengan masyarakat
yaitu, kepemilikan fungsi (dapat difungsikan untuk masyarakat umum), akses
(dapat diakses oleh masyarakat) dan kegunaan (dapat digunakan oleh masyarakat
umum).
Sedangkan ruang publik
ialah ruang yang terbuka, tanpa batasan, bebas dari intervensi budaya yang
eksklusif maupun hirarki hegemoni. Terkait dengan konteks proses dan platform,
ruang publik harus mampu mengakomodir diskusi, debat serta komunikasi dengan
prinsip-prinsip yang dapat diterima mampu menciptakan, meregenerasikan, serta
mengintegrasikan wacana kolektif di antara anggota masyarakat, tentunya ketika rasa percaya (trust) telah muncul di antara
mereka.
Sedangkan
dalam konteks proses, Minum kopi bagi masyarakat Aceh bukan hanya dianggap
sekedar meminum atau menikmati kopi, namun juga bermaksud berkumpul,
berdiskusi, atau bersilaturahmi. Wacana
yang dibicarakan pun tak pernah terbatas, kecuali pada masa-masa konflik dan
tiran.
Masyarakat Aceh tidak
dapat dipisahkan dari kopi. Karena itulah, kedai kopi akan banyak kita temui di
berbagai pelosok negeri berjuluk Serambi Mekkah ini. Baik siang maupun malam,
berbagai lapisan masyarakat di Aceh mengisi kedai-kedai kopi untuk bersantai
minum kopi.
Tidak terbatas dari
yang muda hingga yang tua, pria maupun wanita, miskin maupun kaya, semua berbaur
tanpa sekat-sekat pembatas. Bisa dikatakan, kopi ibarat nafas bagi orang Aceh
yang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka sejak zaman dulu nya.
Dalam
kerangka strategic, minum kopi pada konteks ini dapat dianggap sebagai cara berbanding
tujuan, meskipun banyak pula para penikmat kopi yang otentik terkadang berfikir
sebaliknya.
Gambaran elemen-elemen
budaya kopi tersebut sebenarnya cukup menarik, lantaran ketiga elemen tersebut
hadir bersamaan. Maksudnya, kebiasaan minum kopi dan keberadaan warung kopi yang
cukup diminati. Diluaar Indonesia,
budaya kopi yang komplit seperti ini dapat ditemukan di wilayah Aceh terutama
di Gayo lues, lokop,sp.jernih,Aceh tengah dll
Khusus di Aceh, selain
dari konteks instrumen yang bervariasi, aspek sosial, ekonomi dan politik baru
paska konflik menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap meningkatnya
popularitas budaya kopi di Aceh satu. Transisi konflik yang minim gesekan,
meningkatnya sektor perekonomian masyarakat yang ditopang oleh aliran dana
otonomi khusus dan bantuan paska tsunami, serta kehidupan politik yang
memberikan akses yang lebih luas bagi masyarakat untuk terlibat di dalamnya.
Di tengah tekanan
pandemi corona kopi arabika Gayo Aceh
juga masih diminati di pasar Amerika dan Eropa. Meski pada awal pandemi,
ekspor kopi gayo sempat terhadang, kini para pemain mengaku sudah mulai kembali
masuk ke pasar luar negeri.
Karakter rasa kopi aceh gayo sebetulnya mirip dengan kopi Sumatera pada umumnya, bedanya adalah aftertaste yang bersih. Karena karakter rasa bijinya, kopi ini sering dijadikan campuran kopi lainnya di cafe-cafe. kopi gayo memiliki aroma yang kuat dan nikmat. Tingkat keasamannya rendah dengan sedikit rasa rempah. Rasa kopi aceh gayo yang kuat dan nikmat ini pula memiliki rasa yang tidak pahit dan ada juga yang pahit menurut selera, cara membuatnya sangat digemari, terutama di Amerika Serikat dan Eropa.
Penulis adalah Sella Merlia, Mahasiswa Prodi KPI, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Langsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar