Breaking News
recent

Melihat Geliat Pengrajin Terasi Di Kota Langsa Di Terpa Covid-19

 

Essay Serba-Serbi-Sejak pandemi virus corona (covid-19) merebak dan meluas hampir ke seluruh penjuru dunia membuat aktivitas penduduk menjadi terhambat yang memaksa semua orang harus diam di rumah mengisolasi diri agar terhindar dari virus, terutama aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pandemi ini menuntut semua orang untuk beradaptasi secara cepat dengan pola kehidupan yang baru seperti menjaga jarak, selalu memakai masker apabila keluar rumah, rajin cuci tangan atau menggunakan handsanitizer, dan menjaga imun tubuh dengan vitamin atau ramuan herbal.

Sebagian besar pekerja harus merubah kegiatannya menjadi Work From Home (WFH), mahasiswa dan anak sekolah pun harus belajar secara online begitu juga dengan pelaku usaha dimana ada perubahan pola konsumsi masyarakat menjadi secara online. Walaupun banyak kegiatan yang harus berjalan secara tidak biasa/normal, namun ternyata ada beberapa usaha yang justru mengambil peluang dan meraup keuntungan ditengah pandemi.

Terasi atau belacan adalah bumbu masak yang dibuat dari ikan dan/atau udang rebon yang difermentasikan, berbentuk seperti adonan atau pasta dan berwarna hitam-coklat, kadang ditambah dengan bahan pewarna sehingga menjadi kemerahan. Terasi merupakan bumbu masak yang penting di kawasan Asia Tenggara dan Tiongkok Selatan. Terasi memiliki bau yang tajam. Di Indonesia terasi biasanya digunakan untuk membuat sambal terasi, tetapi terasi juga digunakan sebagai penyedap masakan dalam berbagai resep tradisional Indonesia. Langsa menjadi salah satu daerah yang memproduksi terasi dengan cita rasa yang khas.

Fenomena ini juga menghantam para perajin terasi di Gampong Simpang Lhee Kecamatan Langsa barat berhenti produksi sementara waktu karena stok udang yang terbatas dan kondisi pandemi covid 19 ini. Bila udang melimpah biasanya perajin memproduksi terasi dalam jumlah yang banyak, tetapi karena saat ini stok terbatas akibat covid 19 ini mereka biasanya menjual terasi produksi sebelumnya. Kak Maryati yang berusia 43 tahun adalah anak dari bapak Abdul Muthalib dan ibu Zuraidah seorang pengrajin terasi di simpang Lhee Kecamatan Langsa barat, ia melanjutkan usaha milik orang tuanya yang telah berdiri pada tahun 1997. 

Di tempat kak maryati ini ada sebanyak empat orang pengrajin di Gampong simpang lhee kecamatan Langsa barat, Bang Hendrik berusia 24 tahun adalah seorang anak dari kak Maryati, sebagai pengaduk olahan terasi yang akan di produksi, ada pak Abdul Muthalib berusia 68 tahun yang masih aktif bekerja sebagai pengolah terasi sejak tahun 1997. Dan ada Buk Zuraidah istri dari pak Abdul Muthalib yang berusia 63 ikut membantu juga.

Menurut Kak Maryati, perajin akan serempak memproduksi terasi bila pandemi ini hilang, dan terasi siap akan dijual ke pasar dan sebagian di simpan untuk mengantisipasi berhentinya produksi akibat musim udang rebon usai. "Proses produksi terasi membutuhkan rangkaian yang panjang dari menangkap udang rebon, lalu di keringkan selama beberapa hari baru ditumbuk dan diberi garam, serta proses fermentasi selama satu bulan dan yang terakhir dicetak sehingga ketika udang sedang tidak musim secara otomatis produksi akan berhenti karena tidak ada bahan baku," kata kak Maryati.

Harga terasi satu paket isi 12 potong di bandrol dengan harga Rp120.000. Harga tersebut telah sesuai dengan beban produksi dan upah buruh yang harus dibayarkan."Perajin terkadang menggunakan jasa buruh untuk membantu produksi terasi karena mereka dapat memproduksi dalam jumlah yang banyak jadi harga terasi di jual Rp120.000 itu sudah termasuk untuk biaya upah buruh," ujar kak Maryati.

Sejumlah perajin terasi asal Simpang Lhee, kesulitan mendapatkan bahan baku yakni udang rebon. Sulitnya bahan baku imbas dari pandemi ini yang sudah 1 tahun lamanya. Biasanya, para perajin ini mampu mengumpulkan satu kuintal udang rebon, dari hasil panennya, kini jumlahnya menurun."Maksimal, para perajin ini mendapatkan bahan baku 30 kilogram," .Penurunan bahan baku berdampak pula pada produksi terasi. Biasanya, untuk lima kilogram udang, bisa menghasilkan dua kilogram terasi. Adapun harganya di atas Rp.100.000 per kilogramnya.

Oleh karena itu, usahanya berhenti produksi sebab tidak mendapatkan bahan baku. Dari tiga kilogram udang rebon, kak maryati bisa mengubahnya menjadi 1,5 kilogram terasi. Harganya mencapai Rp 75.000 per kilogramnya. Akan tetapi, akibat pandemi ini, perajin kesulitan mendapatkan bahan baku utama. Sehingga, bisnis terasi mengalami kelesuan. Pada waktu itu, perajin terasi asal Desa Simpang Lhee terpaksa berhenti memroduksi terasi, sejak pandemi covid 19. Sehingga, dirinya tak bisa mencari udang yang biasa diperolehnya dari tambak tersebut.

Produksi terasi bergantung pada hasil tangkapan udang. Kini tangkapan udang kian merosot, akibat pandemi covid 19 ini warga tidak bisa lagi untuk memanen kan hasil udangnya. Selain itu, perajin terasi tradisional harus bertarung dengan produksi terasi hasil olahan pabrik-pabrik besar

Meski sudah dikenal sebagai salah satu buah tangan khas Langsa, namun perajin terasi di kota ini mengakui adanya kendala dalam pengembangan usaha. Selain keterbatasan bahan baku udang rebon, juga dihadapkan dengan keterbatasan modal dan akses pemasaran yang belum optimal. Menurut Kak Maryati, dia menjual terasi hanya di kedainya. Dia kesulitan mengembangkan usaha itu karena terbatasnya modal usaha yang dimiliki. Selama 20 tahun menekuni usaha rumah tangga tersebut, dia tidak pernah mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah daerah. Baik dalam bentuk permodalan maupun mesin giling untuk memproduksi terasi

“Jangankan modal usaha, datang untuk memberikan pengarahan seperti tentang cara memasarkan terasi hingga lebih dikenal luas saja tidak pernah,” akunya. Di antara bentuk bantuan yang diharapkan para perajin terasi tersebut adalah tikar untuk menjemur, ember atau tong besar, mesin penggiling atau oven (pemanas) untuk mengeringkan udang sabu saat hujan. Demikian juga dampak ekonominya. Karena, dengan makin dikenal luas, prospek peningkatan produksi juga terbuka dan membuka lebih banyak peluang ekonomi bagi masyarakat. Bukan hanya perajin, tapi juga nelayan dan mata rantai ekonomi terkait lainnya.

Menurut kak maryati salah seorang pembuat terasi, desa Simpang Lhee sebagai salah satu sentra produksi terasi udang asli, mengandalkan tangkapan udang segar dari warga sekitar sehingga bila musim udang usai warga memilih untuk menjual stok lama yang telah di simpan sambil menunggu musim datang agar stok terasi di pasaran tetap terjaga. Jika mereka tidak memproduksi terasi lagi, mereka akan menganggur, Mereka hanya bisa menghabiskan waktunya bersama keluarga mereka. dan kalau udang terus menerus gagal panen, mereka akan mencari mata pencaharian baru, seperti memanfaatkan tambak udang rebon yang pernah mereka miliki ketika masih memproduksi terasi. Mereka akan menggunakan tambak tersebut untuk membudidayakan ternak lele. Jikalau udang rebon yang mereka miliki itu gagal panen.

Penulis: Reza Safrizal Adalah Mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam


Admin

Admin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.