Essay – Kain perca adalah kain yang dapat didapatkan dari sisa-sisa guntingan kain lebar pada proses pembuatan pakaian, jilbab, atau garment, kerajinan dan berbagai produk tesktil lainnya. Sepintas kain perca( kain sisa) ini adalah kain yang tidak memiliki manfaat tetapi sebenarnya sisa kain ini dapat di manfaatkan menjadi barang-barang kerajinan tangan seperti tas, sarung bantal, cadar, masker, tikar dan produk- produk lainnya.
Kerajinan kain perca termasuk kerajinan yang paling tua. Teknik penggabungan berbagai macam potongan kain untuk menciptakan motif unik selembar kain baru ternyata sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Bukti sejarah menunjukkan bahwa kerajinan perca sudah ada sejak zaman Mesir Kuno dan Cina Kuno sekitar 5000 tahun yang lalu. Semakin lama, teknik kerajinan kain perca semakin berkembang. Semula kerajinan ini diciptakan hanya untuk menggabungkan beberapa potongan kain dn membuat pakaian yang lebih bisa menghangatkan. Tujuan pembuatannya semakin berkembang dan lebih bernilai seni (keindahan). Gampong lhok banie, Kecamatan Langsa Barat, Kota Langsa. Salah satu daerah pembuat tikar dari pemanfaatan limbah kain perca. Adapun jenis-jenis kain perca (kain sisa) yang digunakan untuk membuat tikar bisa bermacam-macam, diantaranya adalah:
1.
Kain Licra, kain yang memiliki sifat
elastis tinggi.
2.
Kain Acrylic, kain berkarakter bulky tidak
menyerap keringat.
3.
Kain syfon, kain yang tipis dan ringan,
dibuat dari sutra, katun, atau serat sintesis.
4.
Kain Ceruti, kain yang mempunyai kemiripan
dengan kain syfon.
5.
Kain Satin, kain dengan permukaan
mengkilap dan licin, bagian belakangnya suram dan kasar.
6.
Kain Denim, kain twill yang biasa di
gunakan untuk membuat jeans.
7.
Kain Rayon, kain yang Nampak berkilau dan
tidak mudah kusut.
8.
Kain Sutra, Kain yang sangat ringan dengan
tekstur lembut.
9.
Kain Polyester, Kain sintetis mudah kering
dan tidak mudah kusut.
10.
Kain bordir, kain renda dan lain-lain
Cara
pembuatan tikar dari limbah kain perca di perlukan beberapa teknik menjahit
sebagai berikut:
a.
Teknik Patchwok, yaitu menjahit kain perca
sesuai potongannya, secara umum teknik ini dilakukan dengan menyambung setiap potongan
kain perca dengan jahitan sehingga nantinya dapat membentuk motif- motif
tertentu dalam gabungan beberapa lembar kain perca yang nantinya diproses lagi
untuk menghasilkan pola- pola tikar.
b.
Teknik Applique, yaitu menempelkan kain
perca di permukaan kain yang utuh. Setelah kain perca dipotong- potong dan
dijahit maka langkah selanjutnya adalah kita jahit kembali kain perca tersebut
pada kertas semen atau goni. Setelah
beberapa pola tikar, atau sekitar 6 sampai 10 pola selesai dijahit ,
maka akan disatukan menjadi satu tikar.
c.
Teknik Quilting, yaitu menambahkan bahan
tambahanberupa busa atau sejenisnya pada kain perca yang sudah di jahit. Jadi
setelah pola- pola tikar sudah di jahit rapi maka penjahit akan menambahkan
goni kembali supaya tikar menjadi tebal dan tahan lama, setelah ditambahkan
goni penjahit akan menjahit pinggiran ujung tikar dengan kain meteran yang
berwarna merah yang sudah dibeli, supaya jahitan tikarnya terlihat lebih rapi
dan memiliki nilai seni(keindahan .
Gampong Lhok Banie ,
Kecamatan Langsa Barat, Kota Langsa. Merupakan salah satu daerah yang
masyarakatnya berprofesi sebagai penjahit, namun sangat di sayangkan jika
limbah-limbah kain perca tersebut dibuang atau dibakar begitu saja. Sehingga
adanya ide (pemikiran) supaya limbah kain perca ini bisa menjadi barang-barang
yang berguna dan layak pakai dan dapat menghasilkan uang masuk bagi pengolah
kain percaya, dengan mengolahnya kembali menjadi tikar duduk ( tikar yang muat
1 orang), atau tikar yang berukuran
seperti tikar pada umumnya.
Cara pembuatan tikar ini
dihitung lumayan mudah namun harus memiliki kesabaran kerapian dan ketelitian yang tinggi dalam
membuatnya, dikarenakan kita harus memotong- motong pola kain dengan ukuran
kecil dan menyesuaikan warnanya supaya
memiliki nilai seni dan Nampak indah. Baru kemudian dijahit secara perlahan
lalu diberi tambahan seperti busa dan kain meteran berwarna merah di ujung –ujung tikar agar
terlihat rapi. Pembuatan tikar dari limbah kain perca ini bisa berlangsung 1
hari untuk menjahit tikar dalam ukuran biasa apabila menggunakan mesin jahit,
namun apabila menjahit secara manual bisa berlangsung 2 atau 3 hari, sedangkan tikar duduk menghabiskan waktu setengah hari untuk
menjadi tikar.
Pemanfaatan limbah kain
perca yang dijadikan tikar ini menjadi pemasukan bagi ibu-ibu di gampong Lhok
Banie, Kecamatan Langsa Barat, Kota Langsa.
“ Peminat tikar dari limbah
kain perca ini lumayan banyak akan tetapi keterbatasan limbah kain perca menjadi penghambat untuk menghasilkan
banyak tikar, karena dalam pembuatan 1 tikar saja sangat banyak
menghabiskan limbah kain perca sedangkan
limbah kain perca yang kita dapati tidak banyak dalam satu minggu saya hanya dapat menghasil 2 atau 3 tikar,
sesuai limbah kain perca yang saya dapati.“
ujar suryati.
Tikar dari limbah kain
perca ini sangat di minati oleh ibu- ibu di karenakan motifnya yang beragam dan
unik. Tikar dari limbah kain perca ini beda dari tikar yang dibuat dari pohon pandan
(seukei dalam bahasa Aceh) dan plastik. Tikar yang terbuat dari limbah kain
perca lebih cantik dan tahan lama, dan
tahan air dan bisa dicuci apabila kotor, beda dengan tikar yang terbuat dari
plastic dan daun pandan (Seukei dalam bahasa Aceh), apabila terkena air mudah
koyak dan berjamur dan rontok apabila terbuat dari plastik. Jadi limbah kain
perca ini memiliki kelebihannya tersendiri dari pada tikar yang terbuat dari
daun pandan (seukei dalam bahasa Aceh), plastik dan bahan yang lain.
Tikar yang terbuat dari
limbah kain perca tersebut selain memilki kelebihan tersendiri, selain tahan
lama dan tahan air . tikar ini memilki harga yang beragam, tikar- tikar ini di
brandol dengan harga yang beragam. Seperti harga tikar duduk dimulai dari harga
Rp. 25.000 sampai Rp.30.000. sedangkan harga tikar yang berukuran biasa dimulai
dari harga Rp. 50.000 sampai Rp. 70.000. jadi setiap limbah yang bisa di daur ulang
akan menghasilkan karya- karya seni dan dapat dimanfaatkan kembali dan pastinya
akan memiliki nilai jual di pasaran atau di masyarakat.
Penulis: Fatimah Zuhra , Mahasiswi IAIN Langsa, Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar