Ilustrasi: Google |
Essay-Generasi
milenial di Indonesia merupakan kelompok yang rentan terekspos radikalisme
melalui internet, khususnya media sosial. Kaum radikal biasanya diam-diam
menentang Pancasila sebagai ideologi negara dan jalan hidup bangsa Indonesia.
Generasi milenial diharapkan menjadi agen perubahan dan pemanggil kebenaran,
mewujudkan pemahaman yang benar tentang agama dan berdiri dalam posisi menolak
radikalisme dan terorisme. Saat ini pemerintah Indonesia gencar
mengarusutamakan Pancasila dengan generasi milenial, namun hasilnya belum
maksimal. Oleh karena itu, penulis ini bertujuan untuk
mengidentifikasi strategi komunikasi pemerintah Indonesia dalam
mengarusutamakan ideologi Pancasila pada generasi milenial.
Pengguna
internet di Indonesia cukup banyak, namun tidak dibekali dengan literasi
nilai-nilai Pancasila yang kuat, sehingga menjadi sasaran empuk bagi mereka
yang dengan sengaja menyebarkan informasi yang menyimpang di kalangan generasi
milenial. Oleh karena itu, literasi digital di kalangan milenial di Indonesia
perlu ditingkatkan. Selain itu, pentingnya menciptakan ruang publik yang sehat,
positif, dan optimis dapat membawa kemajuan bagi peradaban. Ruang publik yang
menghadirkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari melibatkan peran
tokoh agama, akademisi, aktivis, dan influencer karena memiliki legitimasi yang
lebih kuat di masyarakat. Narasi Pancasila diharapkan tidak bersifat
verbalisme, atau aktivisme semata, tetapi dalam bentuk yang praktis. Pengemasan
nilai-nilai Pancasila dalam bentuk grafis video haruslah di isi dengan konten
yang disukai oleh generasi milenial saat ini. Sedangkan pendidikan nilai-nilai
Pancasila dapat dimulai dari anak usia dini dalam keluarga sehingga pada
akhirnya dapat memenuhi dan menyehatkan ruang publik dari berbagai hoax dan
ujaran kebencian.
Internet
telah menjadi media penting dalam penyebaran doktrin Islam radikalisme dan
intoleransi, yang tidak hanya menjadikan mahasiswa sebagai sasaran. Ciri-ciri
radikalisme terlihat dari perilaku dan sikap intoleran terhadap kelompok yang
tidak sependapat. Salah satu indikasinya adalah, mudahnya memberi cap negatif
pada sesama muslim yang berbeda, apalagi beda agama. Orientasi politik generasi
milenial dikhawatirkan bisa berubah menjadi anti Pancasila dan menentang Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Begitu pula dengan tradisi agama moderat terhadap
generasi milenial yang sudah berjalan selama ini bisa terguncang dan dicopot.
Kecenderungan ini terjadi karena mereka terpapar situs atau akun di media
sosial yang radikal dan intoleran. Survei Center for Strategic and
International Studies (CSIS) pada Agustus 2017 menyoroti aspirasi milenial
untuk kepemimpinan dan toleransi di 34 provinsi di Indonesia. Sebanyak 90,5
persen generasi milenial tidak setuju jika ada gagasan mengganti Pancasila
dengan ideologi lain, sebanyak 9,5 persen setuju mengganti Pancasila. Survei
tersebut cukup menggembirakan karena hanya sedikit yang menyetujui penggantian
ideologi Pancasila. Meski begitu, perlu kehati-hatian karena ada keinginan
mengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kehati-hatian ini ditegaskan oleh
penelitian yang dilakukan oleh Maarif Institute pada tahun 2016, yang
menunjukkan bahwa lebih dari separuh siswa sekolah menengah negeri di Provinsi Jawa
Barat, Indonesia mendukung pembentukan negara berbasis kekhalifahan. Begitu
pula survei Wahid Foundation, tentang radikalisme di kalangan aktivis Islam
menunjukkan 78 persen mendukung gagasan pembentukan kekhalifahan. Selama ini
penyelenggaraan komunikasi informasi dan edukasi publik oleh pemerintah tentang
nilai-nilai Pancasila di kalangan generasi milenial belum mencapai solusi yang
optimal. Penerapan nilai-nilai Pancasila di kalangan generasi milenial belum
terlihat dalam keseharian masyarakat.
Mengingat
pesatnya perkembangan teknologi digital yang semakin memudahkan dalam melakukan
komunikasi dan penyebaran informasi. Penanaman nilai-nilai ideologi Pancasila
di era digital melalui internet sangat dibutuhkan. Melalui formula dan metode
yang tepat, dalam arti terkait dengan setiap segmen sehingga seluruh masyarakat
Indonesia termasuk generasi milenial mampu memahami dan mengimplementasikan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dahulu penyampaian materi dalam proses pembinaan ideologi Pancasila hanya
bersifat satu arah, akibatnya penerima hanya menghafal tanpa memahami maknanya.
Diperlukan cara yang kreatif untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman
berbangsa dan bernegara. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan program-program yang
unggul dalam aspek struktural pendidikan dan keteladanan. Dibutuhkan cara yang
kreatif, terutama yang mendekatkan Pancasila kepada generasi muda dengan
pendekatan teknologi, keilmuan, media sosial, dan kreatif.
Dalam
membangun bangsa, dibutuhkan suatu keyakinan yang disebut ideologi sebagai
landasan dan identitas bangsa. Tanpa ideologi, tentunya tidak akan menjadi
bangsa yang besar. Pancasila sebagai landasan moral bangsa Indonesia harus
dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila sebagai perwujudan budaya bangsa. Sebagai sebuah ideologi yang
terbuka, Pancasila tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai yang berkembang di
masyarakat di era sekarang.
Pancasila
merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penggunaan kata Pancasila
sebagai istilah pertama kali dikemukakan oleh Soekarno, dalam pidatonya di
hadapan hari ketiga Badan Penyelidikan Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Dalam pidatonya, Soekarno mengusulkan lima hal yang menjadi dasar
Indonesia merdeka dan diberi nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945,
menjelang kemerdekaan, BPUPKI membentuk Panitia Sembilan. Panitia terdiri dari
Soekarno sebagai ketuanya, diikuti oleh anggota yaitu Mohammad Hatta, Mohammad
Yamin, Achmad Soebardjo, Abdul Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikoesno
Tjokrosoejoso, Agus Salim, dan AA Maramis. Mereka bertugas meringkas proposal
yang muncul dalam rapat BPUPKI. Komite Sembilan menghasilkan formula dasar
negara yang disebut Piagam Jakarta. Piagam tersebut berisi lima prinsip.
Pertama, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan hukum Islam bagi pemeluknya.
Dua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketiga, Persatuan Indonesia. Keempat,
masyarakat dipimpin oleh kebijaksanaan dalam musyawarah / representasi. Kelima,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada tanggal 10 Juli 1945
Panitia Perumus UUD yang diketuai oleh Soekarno menyetujui Piagam Jakarta
menjadi rancangan Pembukaan UUD 1945. BPUPKI kemudian dibubarkan karena
dianggap telah menjalankan tugasnya menghasilkan rumusan dasar bernegara. Selanjutnya
dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI mengadakan sidang
pertamanya pada 18 Agustus 1945, atau sehari setelah proklamasi dibacakan oleh
Soekarno dan Mohammad Hatta. Sebelum sidang dimulai, seluruh anggota PPKI
sepakat bahwa prinsip pertama Piagam Jakarta akan diubah menjadi Tuhan Yang
Maha Esa.
Penulis: Mutderika Mahasiswi Prodi Pendidikan Anak Usia Dini Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Langsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar