(Docs.Istimewa) |
Moderasi beragama diperlukan karena sikap ekstrem dalam beragama
tidak sesuai dengan esensi ajaran agama itu sendiri. Perilaku ekstrem atas nama
agama juga sering mengakibatkan lahirnya konflik, rasa benci, intoleransi, dan
bahkan peperangan yang memusnahkan peradaban. Sikap-sikap seperti itulah yang
perlu dimoderasi. Moderasi beragama adalah upaya mengembalikan pemahaman dan
praktik beragama agar sesuai dengan esensinya, yakni untuk menjaga harkat,
martabat, dan peradaban manusia, bukan sebaliknya. Agama tidak boleh digunakan
untuk hal-hal yang justru merusak peradaban, sebab sejak diturunkan, agama pada
hakikatnya ditujukan untuk membangun peradaban itu sendiri.
Sebagai agama samawi terakhir yang diturunkan Allah SWT melalui
Nabi Muhammad SAW, Islam dipersepsikan mengandung ajaran- ajaran moderat di
dalamnya, yang sering dikenal dengan istilah Moderasi Islam. Sebagaimana sudah
di jelaskan dalam dalil Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 143 yang artinya: Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu
(umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami
tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar
Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang.
Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh,
Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.
Dalam struktur ajarannya, Islam selalu memadukan kedua titik
ekstrimitas yang saling berlawanan. Sebagai contoh, ajaran Islam tidak semata
memuat persoalan ketuhanan secara esoteric, melainkan juga hal-hal lain
menyangkut kemanusiaan dengan implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti
halnya mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur, kehidupan
pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pendidikan formal,
informal, dan nonformal. Demikian ini, agar dalam tataran praktis tidak terjadi
benturan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, ketidaknyamanan, dan lain-lain
(AbuYasid: 2014).
Moderasi Islam dalam bahasa arab disebut dengan al-Wasathiyyah
al-Islamiyyah. Al-Qardawi menyebut beberapa kosa kata yang serupa makna
dengannya termasukkatan Tawazun,I'tidal, Ta'adul dan Istiqamah. Sementara dalam
bahasa inggris sebagai Islamic Moderation. Moderasi Islam adalah sebuah
pandangan atau sikap yang selalu berusaha mengambil posisi tengah dari dua
sikap yang berseberangan dan berlebihan sehingga salah satu dari kedua sikap
yang dimaksud tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap seseorang. Dengan kata
lain seorang Muslim moderat adalah Muslim yang memberi setiap nilai atau aspek
yang berseberangan bagian tertentu tidak lebih dari porsi yang semestinya
(Abdullah Munir: 2019). Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa inggris,
moderation, yang artinya adalah sikap sedang atau sikap tidak berlebihan. Jika
dikatakan orang itu bersikap moderat berarti ia wajar, biasa-biasa saja, dan
tidak ekstrim. Sementara dalam bahasa arab, kata moderasi biasa diistilahkan
dengan wasat atau wasatiyah; orangnya disebut wasit. Kata wasit sendiri sudah
diserap kedalam bahasa Indonesia yang memiliki tiga pengertian, yaitu penengah,
pelerai dan pemimpin dipertandingan (Depag
RI: 2012).
Generasi muda (millenial) memiliki posisi strategis. Jika
digambarkan dalam sebuah piramida, maka posisi pemuda berada di tengah: di atas
para penguasa (pemerintah) dan di bawah bersama rakyat jelata. Dalam banyak
literatur, generasi muda disebut sebagai agent social of change dan lain
sebagainya. Begitu penting peran dan kontribusi generasi muda itu bagi
keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara ini, sehingga tak berlebihan jika sebagian
besar rakyat dan umat ini berharap banyak akan sepak terjangnya. Namun jika
generasi muda ini terpapar paham radikal tentu saja kehidupan yang damai,
produktif dan seimbang akan menjadi sebuah imajinasi belaka. Proses kehidupan
berbangsa dan bernegara akan menjadi ‘pincang’. Karena konflik yang mengerucut
pada disintregasi akan semakin menjadi-jadi.
Pada tahun 2017 silam, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)
UIN Jakarta melakukan studi terhadap kalangan muda menunjukkan bahwa sebanyak
58% mereka memiliki opini radikal, 51% opini intoleransi internal dan 34,4%
memiliki opini intoleransi eksternal. Banyak analisis, bahkan studi yang
mengkaji tentang faktor mengapa generasi millenial gampang terpapar paham
radikal. Diantaranya ada yang menyebutkan karena mereka tidak memiliki basis
ilmu atau wawasan keagamaan dan kebangsaan yang kuat. Pada saat yang sama,
mereka mengkonsumsi wawasan tersebut di dunia maya. Sementara ruang maya saat
ini didominasi situs-situs radikal. Ada juga yang menyebutkan bahwa generasi
muda rawan terpapar karena moderasi sebagai nilai yang harus dijunjung dalam
masyarakat yang plural seperti Indonesia belum menjadi gaya hidup dan mendarah
daging (Abdullah Munir: 2019).
Generasi muda di sini lebih mengarah pada mahasiswa yang berproses
di perguruan tinggi. Dengan pengertian semacam ini, maka asumsi dasarnya adalah
bahwa kampus harus berperan sebagai ‘menara air’ bagi masyarakat. Artinya,
kampus mengaliri setiap hikmah bagi masyarakat, yang pada akhirnya menjadi
center of exellence bagi pembangunan dan perbaikan umat. Dengan demikian,
pemuda atau mahasiswa harus bebebas dari virus radikalisme dan sejenisnya
supaya kiprah dan kontribusi mereka dapat berjalan dengan optimal.
Sebuah gampong yang sangat identik dengan pendidikan yaitu Gampong
Meurandeh, Kecamatan Langsa Lama. Perguruan tinggi IAIN Langsa dan Universitas
Samudera adalah penyebab terjadinya pemadatan Gampong ini dan terjadinya
perbedaan bahkan bukan hanya perbedaan suku, ras dan warna kulit namun juga
perbedaan agama, dua perguruan tinggi ini mengakibatkan semua kalangan pemuda
baik beragama Islam maupun non Islam berbondong-bondong untuk melanjutkan
pendidikannya sekaligus menjadi tantangan bagi diri mereka sendiri. Karena
mereka harus bertemen, berkeluarga serta berdampingan dalam satu atap yang
kokoh untuk saling bertoleransi atas perbedaan dalam keyakinan mereka. Disebabkan
terjadinya satu atap namun beda agama itulah keadaan kos-kosan di meurandeh,
mereka harus bisa menerima dengan baik perbedaan terhadap keyakinan tuhan
mereka masing-masing. Namun masih ada beberapa masyarakat yang memilah circle
antara perbedaan agama. Maka masih kurang pahamnya mereka mengenai konsep
moderasi.
Para pakar menjelaskan bahwa proses internalisasi atau menjadikan
mahasiswa memahami dan mempraktekkan nilai-nilai Islam (moderasi) setidaknya
ada tiga macam, yaitu: melalui mindset/pola pikir di mulai dengan sikap saling
menghargai perbedaan, toleransi, dan nilai-nilai moderasi lainnya perubahan
sosial budaya. Dua poin di atas sifatnya masih berkaitan dengan aspek internal
dalam diri generasi muda. Maka pada poin ketiga ini, setelah pola pikir dan
perilaku sesuai dengan prinsip dasar moderasi, kemudian generasi muda didorong
untuk menjadi ‘duta moderasi’ bagi lingkungan sosial di sekitarnya (Lukman
Hakim Saefuddin: 2019).
“Pemuda hari ini harus diberikan pemahaman pendidikan yang mendalam
agar mereka tahu pengetahuan keagamaan yang baik itu seperti apa, tapi
pengetahuan keagamaan itu juga tidak mengarah pada kebenaran. Kita tidak boleh
mengajarkan kebenaran tapi mengklaim bahwa satu-satunya milik kita dan
diberlakukan kepada orang lain sehingga pemuda mampu menyebarkan virus moderasi
beragama ini kepada temannya yang lain.” Ucap Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas
atau sering disapa Gus. Karena moderasi merupakan nilai yang sesuai dengan
karkakter masyarakat Indonesia yang beragam namun nilai ini belum
mendarah-daging pada diri seluruh generasi muda saat ini, maka diperlukan
‘duta-duta moderasi’ yang tidak hanya mengkampanyekan nilai-nilai moderasi di
ruang publik, melainkan juga melakukan beberapa gerakan konkret, yang
diantaranya bisa dimanifestasikan dalam tugas-tugas duta moderasi adalah
menyebar perdamaian dan menumpas paham radikal.
Bermoderat adalah bersikap berada di tengah, berdiri di antara
kedua kutub ekstrem itu. Ia tidak berlebihan dalam beragama, tapi juga tidak
berlebihan menyepelekan agama. Dia tidak ekstrem mengagungkan teks-teks keagamaan
tanpa menghiraukan akal dan nalar, juga tidak berlebihan mendewakan akal
sehingga mengabaikan teks. Pendek kata, moderasi beragama bertujuan untuk
menengahi serta mengajak kedua kutub ekstrem dalam beragama untuk bergerak ke
tengah, kembali pada esensi ajaran agama, yaitu memanusiakan manusia.
Orang moderat akan memperlakukan mereka yang berbeda agama sebagai
saudara sesama manusia dan akan menjadikan orang yang seagama sebagai saudara
seiman. Orang moderat akan sangat mempertimbangkan kepentingan kemanusiaan di
samping kepentingan keagamaan yang sifatnya subjektif. Bahkan, dalam situasi tertentu,
kepentingan kemanusiaan mendahului subjektifitas keagamaannya. Faktanya agama
tidak perlu dimoderasi karena agama itu sendiri telah mengajarkan prinsip
moderasi, keadilan dan keseimbangan. Jadi bukan agama yang harus dimoderasi,
melainkan cara penganut agama dalam menjalankan agamanya itulah yang harus
dimoderasi. Tidak ada agama yang mengajarkan ekstremitas, tapi tidak sedikit
orang yang menjalankan ajaran agama berubah menjadi ekstrem.
Seorang yang moderat juga harus memiliki pendirian teguh dan semangat
beragama yang tinggi. Namun, ia harus mampu memilah mana pokok ajaran agama, di
mana ia harus berpendirian teguh, dan mana tafsir ajaran agama, di mana ia
perlu toleran, menghormati pendirian orang lain, dan tidak menyalah-nyalahkan.
Terkait urusan pokok agama, tidak boleh ada kompromi dalam hal meyakini dan
mempraktikkannya. Tapi untuk urusan agama yang sifat hukumnya diperdebatkan,
dan ada beragam pandangan, seorang moderat akan mengambil sikap hukum tertentu
untuk dirinya, tapi tidak memaksakan hukum itu berlaku untuk orang lain. Itulah
makna toleran.
Tegaknya moderasi beragama perlu dikawal bersama, baik oleh orang
per orang maupun lembaga, baik masyarakat maupun negara. Kelompok beragama yang
moderat harus lantang bersuara dan tidak lagi memilih menjadi mayoritas yang
diam. Bahkan, keterlibatan perempuan juga akan sangat penting dalam upaya
memperkuat moderasi beragama, mengingat kekerasan atas nama agama bisa saja
dilakukan, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Setiap komponen bangsa harus
yakin bahwa Indonesia memiliki modal sosial untuk memperkuat moderasi beragama.
Modal sosial itu berupa nilai-nilai budaya lokal, kekayaan keragaman adat
istiadat, tradisi bermusyawarah, serta budaya gotong-royong yang diwarisi
masyarakat Indonesia secara turun temurun. Modal sosial itu harus kita rawat,
demi menciptakan kehidupan yang harmoni dalam keragaman budaya, etnis, dan
agama. Jika dipikul bersama, Indonesia dapat menjadi inspirasi dunia dalam
mempraktikkan moderasi beragama.
Dalam rangka menciptakan masyarakat yang moderat dalam beragama,
negara perlu hadir memfasilitasi terciptanya ruang publik untuk menciptakan
interaksi umat beragama. Jangan sampai negara malah melahirkan regulasi dengan
sentimen agama tertentu yang diskriminatif, dan diberlakukan secara umum di
ruang publik. Kehadiran negara harus memfasilitasi, bukan mendiskriminasi. Penanaman
Moderasi Islam ini dimaksudkan agar generasi muda memiliki sikap keagamaan yang
inklusif. Sehingga jika berada di masyarakat yang multikultural dan
multireligius, kita bisa menghargai dan menghormati perbedaan yang ada dan bisa
menempatkan diri secara bijak dalam interaksi sosial di tengah-tengah
masyarakat. Sehingga tugas pemuda untuk hari ini bahkan hari esok dan
seterusnya bukan hanya sebagai Agent of Change tetapi juga Religious Moderation
Agent (Agen Moderasi Beragama) yaitu menyebarkan virus moderasi, sehingga
tertanamnya virus tersebut ke setiap jiwa pemuda Indonesia, sebab pemuda
memiliki tugas sebagai anak bangsa untuk selalu berpikir positif terhadap
segala sesuatu. Tidak memandang radikal terhadap suatu hal dan tidak memandang
perbedaan karena itu merupakan suatu hal yang buruk, melainkan menjadikan
perbedaan sebagai kekuatan untuk maju bersama untuk NKRI tercinta. Mari sebarkan
Virus Moderasi Beragama Insha Allah Kita Akan Menjadi Bangsa yang Lebih Maju dan
Beradab.
Penulis adalah Dayu Pratiwi, Mahasiswi Fakultas Syariah, Prodi Hukum Ekonomi Syariah
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.