Breaking News
recent

Sebarkan dan Tanamkan Virus Moderasi Beragama

(Docs.Istimewa)
Zawiyah News | Opini - Moderasi beragama adalah bagian dari strategi bangsa ini dalam merawat Indonesia. Sebagai bangsa yang sangat beragam, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya. Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal. Beberapa hukum agama juga dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin berkelindan dengan rukun dan damai. Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat agamis, dengan karakternya yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman. Moderasi beragama harus menjadi bagian dari strategi kebudayaan untuk merawat jati diri kita tersebut.

Moderasi beragama diperlukan karena sikap ekstrem dalam beragama tidak sesuai dengan esensi ajaran agama itu sendiri. Perilaku ekstrem atas nama agama juga sering mengakibatkan lahirnya konflik, rasa benci, intoleransi, dan bahkan peperangan yang memusnahkan peradaban. Sikap-sikap seperti itulah yang perlu dimoderasi. Moderasi beragama adalah upaya mengembalikan pemahaman dan praktik beragama agar sesuai dengan esensinya, yakni untuk menjaga harkat, martabat, dan peradaban manusia, bukan sebaliknya. Agama tidak boleh digunakan untuk hal-hal yang justru merusak peradaban, sebab sejak diturunkan, agama pada hakikatnya ditujukan untuk membangun peradaban itu sendiri.

Sebagai agama samawi terakhir yang diturunkan Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW, Islam dipersepsikan mengandung ajaran- ajaran moderat di dalamnya, yang sering dikenal dengan istilah Moderasi Islam. Sebagaimana sudah di jelaskan dalam dalil Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 143 yang artinya:  Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.

Dalam struktur ajarannya, Islam selalu memadukan kedua titik ekstrimitas yang saling berlawanan. Sebagai contoh, ajaran Islam tidak semata memuat persoalan ketuhanan secara esoteric, melainkan juga hal-hal lain menyangkut kemanusiaan dengan implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur, kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal. Demikian ini, agar dalam tataran praktis tidak terjadi benturan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, ketidaknyamanan, dan lain-lain (AbuYasid: 2014).

Moderasi Islam dalam bahasa arab disebut dengan al-Wasathiyyah al-Islamiyyah. Al-Qardawi menyebut beberapa kosa kata yang serupa makna dengannya termasukkatan Tawazun,I'tidal, Ta'adul dan Istiqamah. Sementara dalam bahasa inggris sebagai Islamic Moderation. Moderasi Islam adalah sebuah pandangan atau sikap yang selalu berusaha mengambil posisi tengah dari dua sikap yang berseberangan dan berlebihan sehingga salah satu dari kedua sikap yang dimaksud tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap seseorang. Dengan kata lain seorang Muslim moderat adalah Muslim yang memberi setiap nilai atau aspek yang berseberangan bagian tertentu tidak lebih dari porsi yang semestinya (Abdullah Munir: 2019). Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa inggris, moderation, yang artinya adalah sikap sedang atau sikap tidak berlebihan. Jika dikatakan orang itu bersikap moderat berarti ia wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrim. Sementara dalam bahasa arab, kata moderasi biasa diistilahkan dengan wasat atau wasatiyah; orangnya disebut wasit. Kata wasit sendiri sudah diserap kedalam bahasa Indonesia yang memiliki tiga pengertian, yaitu penengah, pelerai  dan pemimpin dipertandingan (Depag RI: 2012).

Generasi muda (millenial) memiliki posisi strategis. Jika digambarkan dalam sebuah piramida, maka posisi pemuda berada di tengah: di atas para penguasa (pemerintah) dan di bawah bersama rakyat jelata. Dalam banyak literatur, generasi muda disebut sebagai agent social of change dan lain sebagainya. Begitu penting peran dan kontribusi generasi muda itu bagi keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara ini, sehingga tak berlebihan jika sebagian besar rakyat dan umat ini berharap banyak akan sepak terjangnya. Namun jika generasi muda ini terpapar paham radikal tentu saja kehidupan yang damai, produktif dan seimbang akan menjadi sebuah imajinasi belaka. Proses kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi ‘pincang’. Karena konflik yang mengerucut pada disintregasi akan semakin menjadi-jadi.

Pada tahun 2017 silam, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melakukan studi terhadap kalangan muda menunjukkan bahwa sebanyak 58% mereka memiliki opini radikal, 51% opini intoleransi internal dan 34,4% memiliki opini intoleransi eksternal. Banyak analisis, bahkan studi yang mengkaji tentang faktor mengapa generasi millenial gampang terpapar paham radikal. Diantaranya ada yang menyebutkan karena mereka tidak memiliki basis ilmu atau wawasan keagamaan dan kebangsaan yang kuat. Pada saat yang sama, mereka mengkonsumsi wawasan tersebut di dunia maya. Sementara ruang maya saat ini didominasi situs-situs radikal. Ada juga yang menyebutkan bahwa generasi muda rawan terpapar karena moderasi sebagai nilai yang harus dijunjung dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia belum menjadi gaya hidup dan mendarah daging (Abdullah Munir: 2019).

Generasi muda di sini lebih mengarah pada mahasiswa yang berproses di perguruan tinggi. Dengan pengertian semacam ini, maka asumsi dasarnya adalah bahwa kampus harus berperan sebagai ‘menara air’ bagi masyarakat. Artinya, kampus mengaliri setiap hikmah bagi masyarakat, yang pada akhirnya menjadi center of exellence bagi pembangunan dan perbaikan umat. Dengan demikian, pemuda atau mahasiswa harus bebebas dari virus radikalisme dan sejenisnya supaya kiprah dan kontribusi mereka dapat berjalan dengan optimal.

Sebuah gampong yang sangat identik dengan pendidikan yaitu Gampong Meurandeh, Kecamatan Langsa Lama. Perguruan tinggi IAIN Langsa dan Universitas Samudera adalah penyebab terjadinya pemadatan Gampong ini dan terjadinya perbedaan bahkan bukan hanya perbedaan suku, ras dan warna kulit namun juga perbedaan agama, dua perguruan tinggi ini mengakibatkan semua kalangan pemuda baik beragama Islam maupun non Islam berbondong-bondong untuk melanjutkan pendidikannya sekaligus menjadi tantangan bagi diri mereka sendiri. Karena mereka harus bertemen, berkeluarga serta berdampingan dalam satu atap yang kokoh untuk saling bertoleransi atas perbedaan dalam keyakinan mereka. Disebabkan terjadinya satu atap namun beda agama itulah keadaan kos-kosan di meurandeh, mereka harus bisa menerima dengan baik perbedaan terhadap keyakinan tuhan mereka masing-masing. Namun masih ada beberapa masyarakat yang memilah circle antara perbedaan agama. Maka masih kurang pahamnya mereka mengenai konsep moderasi.

Para pakar menjelaskan bahwa proses internalisasi atau menjadikan mahasiswa memahami dan mempraktekkan nilai-nilai Islam (moderasi) setidaknya ada tiga macam, yaitu: melalui mindset/pola pikir di mulai dengan sikap saling menghargai perbedaan, toleransi, dan nilai-nilai moderasi lainnya perubahan sosial budaya. Dua poin di atas sifatnya masih berkaitan dengan aspek internal dalam diri generasi muda. Maka pada poin ketiga ini, setelah pola pikir dan perilaku sesuai dengan prinsip dasar moderasi, kemudian generasi muda didorong untuk menjadi ‘duta moderasi’ bagi lingkungan sosial di sekitarnya (Lukman Hakim Saefuddin: 2019).

“Pemuda hari ini harus diberikan pemahaman pendidikan yang mendalam agar mereka tahu pengetahuan keagamaan yang baik itu seperti apa, tapi pengetahuan keagamaan itu juga tidak mengarah pada kebenaran. Kita tidak boleh mengajarkan kebenaran tapi mengklaim bahwa satu-satunya milik kita dan diberlakukan kepada orang lain sehingga pemuda mampu menyebarkan virus moderasi beragama ini kepada temannya yang lain.” Ucap Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas atau sering disapa Gus. Karena moderasi merupakan nilai yang sesuai dengan karkakter masyarakat Indonesia yang beragam namun nilai ini belum mendarah-daging pada diri seluruh generasi muda saat ini, maka diperlukan ‘duta-duta moderasi’ yang tidak hanya mengkampanyekan nilai-nilai moderasi di ruang publik, melainkan juga melakukan beberapa gerakan konkret, yang diantaranya bisa dimanifestasikan dalam tugas-tugas duta moderasi adalah menyebar perdamaian dan menumpas paham radikal.

Bermoderat adalah bersikap berada di tengah, berdiri di antara kedua kutub ekstrem itu. Ia tidak berlebihan dalam beragama, tapi juga tidak berlebihan menyepelekan agama. Dia tidak ekstrem mengagungkan teks-teks keagamaan tanpa menghiraukan akal dan nalar, juga tidak berlebihan mendewakan akal sehingga mengabaikan teks. Pendek kata, moderasi beragama bertujuan untuk menengahi serta mengajak kedua kutub ekstrem dalam beragama untuk bergerak ke tengah, kembali pada esensi ajaran agama, yaitu memanusiakan manusia.

Orang moderat akan memperlakukan mereka yang berbeda agama sebagai saudara sesama manusia dan akan menjadikan orang yang seagama sebagai saudara seiman. Orang moderat akan sangat mempertimbangkan kepentingan kemanusiaan di samping kepentingan keagamaan yang sifatnya subjektif. Bahkan, dalam situasi tertentu, kepentingan kemanusiaan mendahului subjektifitas keagamaannya. Faktanya agama tidak perlu dimoderasi karena agama itu sendiri telah mengajarkan prinsip moderasi, keadilan dan keseimbangan. Jadi bukan agama yang harus dimoderasi, melainkan cara penganut agama dalam menjalankan agamanya itulah yang harus dimoderasi. Tidak ada agama yang mengajarkan ekstremitas, tapi tidak sedikit orang yang menjalankan ajaran agama berubah menjadi ekstrem.

Seorang yang moderat juga harus memiliki pendirian teguh dan semangat beragama yang tinggi. Namun, ia harus mampu memilah mana pokok ajaran agama, di mana ia harus berpendirian teguh, dan mana tafsir ajaran agama, di mana ia perlu toleran, menghormati pendirian orang lain, dan tidak menyalah-nyalahkan. Terkait urusan pokok agama, tidak boleh ada kompromi dalam hal meyakini dan mempraktikkannya. Tapi untuk urusan agama yang sifat hukumnya diperdebatkan, dan ada beragam pandangan, seorang moderat akan mengambil sikap hukum tertentu untuk dirinya, tapi tidak memaksakan hukum itu berlaku untuk orang lain. Itulah makna toleran.

Tegaknya moderasi beragama perlu dikawal bersama, baik oleh orang per orang maupun lembaga, baik masyarakat maupun negara. Kelompok beragama yang moderat harus lantang bersuara dan tidak lagi memilih menjadi mayoritas yang diam. Bahkan, keterlibatan perempuan juga akan sangat penting dalam upaya memperkuat moderasi beragama, mengingat kekerasan atas nama agama bisa saja dilakukan, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Setiap komponen bangsa harus yakin bahwa Indonesia memiliki modal sosial untuk memperkuat moderasi beragama. Modal sosial itu berupa nilai-nilai budaya lokal, kekayaan keragaman adat istiadat, tradisi bermusyawarah, serta budaya gotong-royong yang diwarisi masyarakat Indonesia secara turun temurun. Modal sosial itu harus kita rawat, demi menciptakan kehidupan yang harmoni dalam keragaman budaya, etnis, dan agama. Jika dipikul bersama, Indonesia dapat menjadi inspirasi dunia dalam mempraktikkan moderasi beragama.

Dalam rangka menciptakan masyarakat yang moderat dalam beragama, negara perlu hadir memfasilitasi terciptanya ruang publik untuk menciptakan interaksi umat beragama. Jangan sampai negara malah melahirkan regulasi dengan sentimen agama tertentu yang diskriminatif, dan diberlakukan secara umum di ruang publik. Kehadiran negara harus memfasilitasi, bukan mendiskriminasi. Penanaman Moderasi Islam ini dimaksudkan agar generasi muda memiliki sikap keagamaan yang inklusif. Sehingga jika berada di masyarakat yang multikultural dan multireligius, kita bisa menghargai dan menghormati perbedaan yang ada dan bisa menempatkan diri secara bijak dalam interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat. Sehingga tugas pemuda untuk hari ini bahkan hari esok dan seterusnya bukan hanya sebagai Agent of Change tetapi juga Religious Moderation Agent (Agen Moderasi Beragama) yaitu menyebarkan virus moderasi, sehingga tertanamnya virus tersebut ke setiap jiwa pemuda Indonesia, sebab pemuda memiliki tugas sebagai anak bangsa untuk selalu berpikir positif terhadap segala sesuatu. Tidak memandang radikal terhadap suatu hal dan tidak memandang perbedaan karena itu merupakan suatu hal yang buruk, melainkan menjadikan perbedaan sebagai kekuatan untuk maju bersama untuk NKRI tercinta. Mari sebarkan Virus Moderasi Beragama Insha Allah Kita Akan Menjadi Bangsa yang Lebih Maju dan Beradab.

Penulis adalah Dayu Pratiwi, Mahasiswi Fakultas Syariah, Prodi Hukum Ekonomi Syariah

Admin

Admin

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.