Zawiyah News | Dayah merupakan lembaga pendidikan tertua di Aceh yang mempunyai peranan penting dalam proses tumbuh dan berkembangnya pendidikan Islam di Nusantara. Pendidikan dayah berorientasi pada kajian tafaqquh fid din (pemahaman ilmu agama Islam) serta sebagai penguat i’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah Asy-syafi’iyyah serta bervisi mencetak kader-kader ulama yang mufaqqih fiddin, mendakwahkan dan menyebarkan agama Islam, menjadi penguat agar bertahannya umat dalam bidang akidah dan akhlak, melahirkan sosok muslim yang memiliki keterampilan dan keahlian membangun kehidupan yang Islami dan meningkatkan pengembangan masyarakat di berbagai sektor.
Di luar Aceh, lembaga pendidikan Islam seperti dayah dikenal dengan berbagai sebutan dan sebutan yang paling umum dikenal adalah Pondok Pesantren (Ma’had). Secara bahasa, kata dayah berasal dari kata zawiyah yang secara harfiah berarti sudut, mengacu pengajian pada masa Rasulullah yang dilakukan di sudut-sudut Masjid Nabawi begitupun di masa-masa setelah nya para ulama sufi membuat halaqah di sudut-sudut Masjid. Sehingga institusi pendidikan Islam di Afrika Utara pada masa-masa awal penyebaran Islam pun juga disebut Zawiyah. Dalam perkembangannya di Aceh, istilah Zawiyah berubah menjadi Dayah.
Disinilah letak perbedaan penamaan dayah dengan pesantren. Kata pesantren berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya “tempat proses belajar-mengajar agama Hindu atau Budha”. Sedangkan dayah berakar dari tempat belajar sahabat Nabi SAW. Sehingga dapat dipahami bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam di Jawa yang berasal dari lembaga non muslim (hal ini terbukti dengan adanya penamaan pesantren terhadap lembaga pendidikan Budha di masa kini yang mendidik santrinya menjadi Biksu atau pendeta) yang kemudian diislamisasi seiring dengan penyebaran Islam di Tanah Jawa. Sedangkan dayah adalah lembaga pendidikan Islam yang berasal dari sistem pendidikan para salafus shalih.
Keberadaan dayah sendiri diyakini telah ada sejak awal masuknya agama Islam di Aceh yaitu pada abad pertama hijriah. Saat itu para pedagang dan mubaligh yang datang dari Arab berlabuh di daerah pesisir Sumatera. Selain melakukan aktivitas perdagangan, mereka juga aktif menyebarkan agama Islam. Untuk lebih mempercepat proses penyebarannya, maka didirikanlah dayah yang pada waktu itu berfungsi sebagai media transformasi pendidikan Islam kepada masyarakat Aceh di samping itu juga untuk menyebarkan agama Islam di seluruh Nusantara. Di masa Kesultanan Aceh, dayah merupakan institusi pendidikan resmi. Adapun struktur kelembagaan dayah di masa Kesultanan Aceh dari yang terendah hingga tertinggi adalah sebagai berikut :
Meunasah (madrasah) yaitu sekolah permulaan yang terdapat di tiap-tiap gampong. Di sana anak-anak diajarkan membaca Al-Qur’an, menulis dan membaca huruf Arab, cara beribadah, akhlak, rukun Islam, dan rukun iman.
Rangkang, yaitu pondok-pondok yang ada di sekeliling masjid sebagai asrama. Di sana diajarkan fiqih, ibadah, tauhid, tasawuf, sejarah Islam/umum, dan bahasa Arab.
Dayah merupakan lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama.
Dayah Teungku Chik, yakni satu tingkat lagi di atas dayah atau bisa merupakan persatuan dayah-dayah dan kadang-kadang disebut juga dayah manyang. Dayah ini tidak begitu banyak.
Jami’ah (Universitas) adalah lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Seiring berjalannya waktu, peran dan fungsi dayah juga berkembang. Dayah tidak lagi sebatas tempat pendidikan keagamaan tetapi juga menyentuh ranah sosial politik dan menjadi tempat untuk menjaga manuskrip serta kitab-kitab kuno yang langka bahkan menjadi basis-basis pertahanan keamanan rakyat. Hampir semua tokoh perjuangan kemerdekaan di Aceh berasal dari pendidikan dayah. Di masa kini, dayah di Aceh terbagi menjadi dua bentuk yaitu Dayah Salafi atau dikenal dengan dayah tradisional yang murni mengajar kitab kuning dan dayah modern atau dayah terpadu yaitu perpaduan antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Saat ini di Aceh tercatat ada sekitar 1000 dayah yang berhasil didata Dirjen Pengembangan Agama Islam Departemen Agama. Dayah-dayah itu tersebar di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Pembelajaran di dayah berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Dayah masih menggunakan model pembelajaran Islam dari masa Rasul, sahabat, tabi’in, tabi’tabi’in, dan seterusnya hingga masa kini dengan model pendidikan talaqqi dan bersanad.
Saat ini istilah dayah memang lebih melekat kepada lembaga pendidikan ulama-ulama asy’ariyah asy-syafi’iyah. Sebelumnya baik itu ulama tradisonal atau kaum muda menggunakan istilah dayah dalam institusi pendidikannya. Namun sekarang ulama-ulama kaum muda lebih banyak menggunakan istilah pondok pesantren atau lain sebagainya dibandingkan dengan istilah dayah.
Dayah saat ini diartikan sebagai lembaga pendidikan Islam yang membedah atau mengkaji kitab ulama-ulama Mazhab Syafi'i. Walaupun pada umumnya dayah tidak mengajarkan kitab tulisan Imam Syafi’i itu sendiri, seperti al-Ūm dan ar-Risālah. Namun hal demikian bukan berarti meninggalkan sumber pokok dari kajian fikih Syafi’iyah itu sendiri. Akan tetapi untuk memahami kitab Imam Syafi’i itu sendiri butuh penjelasan dan uraian yang lebih lugas, rinci dan mudah dimengerti. Karakteristik dan kekhasan dayah juga telah membuat hampir setiap orang mengenalnya. Kepercayaan diri dan kebanggaan atas tradisional nya justru merupakan faktor yang membuat dayah semakin bertahan hingga sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar