Breaking News
recent

Persepsi Masyarakat Desa Wono Sari Terhadap Penari Kuda Lumping

Zawiyah News | Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan dan tradisi masing-masing yang merupakan ciri khas masyarakatnya. Kebudayaan dalam suatu masyarakat memiliki makna tersendiri bagi anggotanya serta diwariskan secara turun temurun dilingkungan keluarga ataupun dalam komunitasnya. Salah satu bagian dari kebudayaan yang telah diwariskan secara turun temurun dilingkungan masyarakat Jawa adalah pertunjukkan kuda lumping.

Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisi Jawa yang menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian kuda lumping merupakan suatu bentuk seni pertunjukan tradisional Jawa yang didalam pertunjukannya ada unsur seni dan religi.Tarian ini berasal dari Ponorogo, ciri khasnya menggunakan kuda yang terbuat dari bambu atau bahan lainnya yang dianyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda, dengan dihiasi rambut tiruan dari tali plastik atau sejenisnya. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka ragam sebagai perlengkapan pertunjukan, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping menyuguhkan atraksi kesurupan yang biasa disebut dengan mabuk monyet, kekebalan dan kekuatan magis, seperti memakan kaca, memakan bunga, membakar diri, dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut.

Memang tak ada sejarah yang secara tertulis bisa dijadikan penjelasan pastinya, namun berbagai cerita verbal dari mulut ke mulut masih bisa didengar dari orang-orang. Seterusnya cerita terus menerus terdengar itu menjadi turun temurun bisa diceritakan kepada generasi selanjutnya. Dari cerita tersebut bisa diperoleh pemaparan bahwa jathilan atau kuda lumping adalah sebuah kesenian yang mengisahkan sebuah perjuangan Raden Fatah dibantu Sunan Kalijaga dalam melawan penjajahan Belanda. Masih cerita dari versi lain, memaparkan bahwa kesenian jathilan menggambarkan kisah prajurit Mataram yang sedang mengadakan latihan perang dibawah pimpinan Sultan Hamengku Buwono I, demi persiapan menghadapi kolonialis Belanda. Bukan itu saja, masih dibumi Mataram, Jathilan juga dikenang sebagai gambaran perjuangan era perang Jawa, rakyat pendukung perjuangan menggunakan properti kuda tiruan yang terbuat dari bambu sebagai bentuk apresiasi sekaligus dukungan terhadap prajurit berkudanya pangeran Diponegoro yang gagah berani melawan penjajah Belanda. Pementasan ini memiliki dua tujuan yang pertama yaitu sebagai sarana menghibur rakyat sekitar dan yang kedua juga dimanfaatkan sebagai media guna menyatukan rakyat dalam melawan penindasan. Sehingga yang dipentaskan adalah sosok prajurit yang berpenampilan mirip dengan jaman kerajaan dahulu dan gerakannya tari diiringi dengan alunan bunyi gamelan serta lantunan suara sinden.

Kuda lumping pada pementasannya yaitu menggunakan baju adat Jawa Tengah dengan menunggang kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman. Kuda lumping sendiri dimainkan oleh menimimal 8 orang dengan diiringi musik kuda lumping yang dimainkan oleh pemainnya, sepertti kendang, saron, gamelan, dan gong. Pada mulanya penari nampak lemah gemulai dalam menggerakkan badan, namun seiring waktu berjalan para penari menjadi kerasukan roh halus . Karena kerasukan para penari kuda lumping hampir tidak sadar terhadap apa yang diperbuatnya. Gerakan tariannya pun mulai tidak teratur, pada kondisi ini lah kata jathilan itu tergambar, “jaranne jan thil-thillan tenan (kudanya benar-benar berjoget tak beraturan)”.

Dalam suatu pertunjukkan kesenian kuda lumping selain para penabuh gamelan dan parias yang tidak boleh ketinggalan adalah pawang, yaitu sosok yang memiliki peran serta tanggung jawab yang mengendalikan jalannya pertunjukan dan menyembuhkan para penari yang kerasukan.

Penari kuda lumping grup Kencono Budoyo adalah salah satu kesenian tradisional yang ada di DesaWono Sari yang dalam perkembangannya banyak mendapatkan tanggapan yang beragam dari masyarakat Desa Wono Sari baik itu positif maupun negatif. Kesenian tari kuda lumping Kencono Budoyo  dalam pelaksanaannya terbagi menjadi dua sesi yaitu, siang dan malam. Pada siang hari pukul 14.00 WIB hingga pukul 17.30 WIB, dan pada malam hari mulai pukul 20.30 WIB hingga pukul 00.00 WIB. Tata cara pementasan melalui pembukaan, acara inti dan penutup. 

Kuda lumping grup Kencono Budoyo diadakan dua minggu sekali setiap malam sabtu sebagai hiburan masyarakat desa Wono Sari, dan juga kuda lumping diadakan pada saat acara khitanan sunat rasul, resepsi pernikahan, hari kemerdekaan, turun tanah sesuai dengan izin dari yang memiliki acara.

 Sebagai media tontonan seni pertunjukkan tradisional harus dapat menghibur penonton, menghilangkan stress dan menyenangkan hati. Sebagai tontonan atau hiburan seni atau pertunjukkan kuda lumping ini biasanya tidak ada kaitannya dengan upacara ritual. Membicarakan tentang seni pertunjukkan, telah disadari bahwa sesungguhnya seni ini tidak ada artinya tanpa ada penonton, pendengar, pengamat, yang akan memberikan apresiasi, tanggapan, atau respons.

Dengan adanya kuda lumping di desa Wono Sari memunculkan berbagai persepsi dari masyarakat desa Wono Sari. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat antara lain,masih memegang teguh adat istiadat, desakan ekonomi, ekisistensi kesenian tradisional kuda lumping, dan kondisi sosial masyarakat. Faktor-faktor itu memunculkan adanya beberapa persepsi dari masyarakat, yaitu persepsi positif dan negatif. Persepsi positif dari masyarakat antara lain: menjadi daya tarik tersendiri sebagai hiburan dan kesenian, sedangkan untuk persepsi negatifnya, mengundang syaitan dan tidak sesuai dengan tujuan awal didirikannya grup kuda lumping.



(Erliyawati)

Admin

Admin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.