ilustrasi : Raamadhana |
Akademisi sekaligus mantan penasihat militer Amerika Serikat pada tahun 1990-an Samuel Huntington pernah mengeluarkan gagasan bagaimana menggambarkan dunia. Gambaran dunia ia lukiskan dapat dipahami berdasarkan tiga sudut pandang selama tiga masa tertentu.
Ketiganya berdasarkan kolonialisme, ideologi, dan peradaban. Kolonialisme berlangsung sudah sangat lama hingga berakhirnya Perang Dunia-II pada 1945. Pandangan ideologi berlangsung selama masa Perang Dingin di mana terjadi perebutan pengaruh antara ideologi komunis dan liberal. Sementara pasca runtuhnya Uni Soviet, dunia dipahami berdasarkan peradaban manusianya.
Wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dan dari Pulau Rote hingga Pulau Miangas sebelum masa kolonialisme adalah wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kerajaan-kerajaan tertentu. Belum dikenal Indonesia. Kerajaan Sriwijaya-lah yang pernah mencoba menamai deretan wilayah tersebut dengan Nusantara. Pada abad ke-18 masuklah Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda ke Indonesia, sekaligus tanda mula era kolonialisme berlangsung.
Era kolonialisme berlangsung karena negara-negara Eropa saat itu sedang berlomba mencari wilayah-wilayah dunia yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Spanyol masuk ke Amerika Selatan/Latin, Inggris masuk ke India, Perancis memasuki beberapa wilayah Afrika, sementara Belanda sendiri masuk ke Indonesia, sebagai wilayah jajahan terluasnya. Nusantara lantas dinamai Hindia-Belanda oleh Belanda, merujuk pada kawasan Nusantara yang terletak di Samudera Hindia.
Asal-usul nama Indonesia ini bisa ditelusuri dari otobiografi Mohammad Hatta Untuk Negeriku. Ceritanya, 5 September 1921 Hatta berlabuh di Pelabuhan Rotterdam untuk menimba ilmu. Berikutnya pendiri Jong Sumatranen Bond cabang Padang, Nazir Pamontjak yang juga berada di Belanda berkata pada Hatta, “Bekas Inlander (pribumi) menyebut dirinya Indonesier dan tanah air disebut Indonesia saja.”
Nazir juga menjelaskan bahwa sebelumnya istilah Indonesia belum dikenal. Oleh karenanya lah ketika Boedi Oetomo didirikan pada 1908, mahasiswa Indonesia di Belanda mendirikan organisasi bernama Indische Vereeniging, bukan Indonesische Vereeniging. Istilah Indonesier dan Indonesische, sebagai cikal bakal nama Indonesia sendiri diperkenalkan oleh Prof van Vollenhoven.
Prof van Vollenhoven mulanya menggunakan kata tersebut dalam sebuah bukunya untuk merujuk pada Hindia-Belanda. Kemudian, pada tahun 1927, baru diketahui dari karangan dr Kreemer dalam Kolonial Weekblad, 3 Februari 1927, bahwa perkataan itu dalam tahun 1850 sudah dipakai seorang etnolog Inggris bernama JK Logan dalam karangannya berjudul The Ethnology of the Indian Archipelago. Logan menggunakan istilah Yunani yaitu “Indonesos” yang berarti pulau-pulau Hindia. Dari sini kita ketahui bahwa mulanya istilah Indonesia bukan berasal dari orang-orang di Nusantara atau pribumi.
Adapun pribumi pertama yang menggunakan nama Indonesia adalah organisasi Indische Vereeniging. Dalam rapatnya pada Minggu malam 19 Februari 1922, Indische Vereeniging mengadakan rapat di sebuah kafe di Den Haag. Agenda pertama saat itu adalah pemilihan ketua baru untuk menggantikan dr Soetomo. Hermen Kartawisastra saat itu yang terpilih sebagai ketua baru.
Selain pemilihan ketua baru itulah disepakati pula dalam forum bahwa nama Indische Vereeniging diubah menjadi Indonesische Vereeniging. Selanjutnya, nama Nederlands-Indie (Hindia-Belanda) diganti pula menjadi Indonesia. Mochamad Hatta sendiri kemudian menulis sebuah artikel di majalah Hindia Poetra nomor 1 berjudul: “De economische positie van den Indonesischen grondverhuurder” (Kedudukan ekonomi tani Indonesia yang menyewakan tanahnya). Itulah tulisan pertama yang digunakan orang Indonesia sendiri menyebut istilah Indonesia. Penggunaan istilah Indonesia kemudian meluas ke seluruh Nusantara.
Salah peristiwa penting yaitu Kongres Sumpah Pemuda pada Oktober 1928 semakin menegaskan nama Indonesia menggantikan sebutan Hindia-Belanda. Baru sekitar tujuh belas tahun kemudian nama Indonesia benar-benar tersiar ke seluruh dunia sebagai negara berdaulat dan merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar