Breaking News
recent

Menebus Pengorbanan Anak



“Ayun tajak bue kan tajak, tajak palenggang dari jao, ayun anak bue kan anak, anak setimbang jongon nyawo”, sambil membuaikan anak, pantun ini dinyanyikan wanita pesisir Sibolga, mengisaratkan setimbangnya anak dengan nyawa.

Saking berharganya anak, sampai-sampai mereka dianggap sebagai jantung peradaban masa depan.

Namun, saya sedih jika melihat potret anak bangsa sekarang, wajah mereka kian brutal dan menakutkan.

Mereka keras, tapi tak bisa kerja keras. Mereka beringas, tapi tidak bernas. Itulah potret paling menonjol dari anak-anak Indonesia.

Pergi ke sekolah menyandang tas, isinya bukan buku dan pulpen, melainkan pisau, rantai, celurit, dan seperangkat alat tawuran.

Seorang anak berubah menjadi keras dan kasar oleh karena salah asuhan. Mereka hanya korban. Korban dari perlakuan kekerasan.

Orangtua dalam lukisan imajinasi mereka tidak lebih seperti monster, yang gemar melakukan kekerasan. Cara-cara demikian tidak mencirikan nilai-nilai pendidikan.

Hanya karena kepentingan sesaat, orang demikian gampang melakukan kekerasan pada anak.

Simak saja catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Sejak tahun 2011 sampai 2014 mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus.

Selain itu, anak-anak juga kehilangan keteladanan. Rumah yang mereka tinggali bukannya menjadi “surga”, malah menjelma menjadi “neraka jahannam”, sepi dari rasa cinta dan kasih sayang.

Kalau begitu siapa yang harus disalahkan?

Salah besar jika kita hanya menyalahkan anak. Justru orangtua lah sebagai madrasatul ula (guru pertama) yang mestinya intropeksi diri.
Setidaknya, berawal dari bagaimana orangtua memaknai kurban dalam pengertian yang lebih transendental. Karena dalam ritual kurban kita diajarkan arti sebuah pengorbanan anak (Ismail). Sehingga kita mengerti bagaimana cara menebusnya.

Memaknai Kurban

Istilah kurban berasal dari bahasa arab yang berarti dekat. Kata sejenisnya adalah al-udhhiyyah dan adh-dhahiyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi atau kerbau, dan kambing yang disembelih pada hari raya idul adha dan hari tasyriq. Tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Ritual berkurban hanyalah simbol. Di dalamnya ada manusia sebagai pelaku. Sedangkan manusia menurut Ernst Cassirer adalah binatang yang melakukan proses simbolisasi (a symbolizing animal) (Rahmanto, 1992: 106).

Dalam kisah di balik perintah kurban, ada tiga simbol yang diperankan, yakni Ibrahim, Ismail, dan Kibas. Ketiga simbol itu memiliki makna tersendiri.

Ibrahim misalnya, jamak dimaknai sebagai manifestasi kepatuhan orangtua terhadap Tuhan-nya. Itu ujian terberat. Bayangkan saja, Ismail yang telah lama dinanti lahir, bahkan Ibrahim harus menempuh jalan poligami (Siti Hajar), tiba-tiba diminta sebagai kurban.

Sedangkan Ismail, dipandang sebagai simbol kepatuhan seorang anak pada orangtua.
Namun ada simbol yang jarang kita maknai, yakni pertukaran Ismail menjadi Kibas. Ada maksud apa dibalik pertukaran itu?

Sepertinya Tuhan sedang menegaskan bahwa nyawa manusia lebih berharga dari binatang. Menyamakan manusia dengan binatang adalah kesalahan besar.

Entah alasan apa yang menyebabkan orangtua tega melakukan kekerasan terhadap anaknya.

Simak hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi. Buktinya, 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga. Hanya 87,6 persen di lingkungan sekolah dan 17,9 persen di lingkungan masyarakat.
Pelecehan sexual, pencabulan, pemukulan, diskriminasi gender, pembatasan hak pendidikan, ialah bentuk-bentuk perilaku kekerasan yang kerap terjadi di lingkungan keluarga.

Padahal, melalui Luqman, Tuhan telah mengajarkan kita bagaimana cara mendidik anak dengan penuh cinta dan kasih sayang (Q.S. Luqman: 13).

Kalau orangtua tidak segera berbenah, maka kekerasan pada anak akan menjadi krisis senyap yang berubah menjadi gunung es. Alhasil, malapeta “kematian masa depan” (death of the future) menjadi sebuah keniscayaan.

Mencintai Anak

Salah satu cara orangtua menebus pengorbanan anak adalah dengan mencintainya setulus hati.

Kelahiran seorang anak bukan hanya membawa potensi eksoteris (lahir) tapi juga esoteris (batin). Dalam jasmani dan ruhani mereka ada akal, jiwa, dan hati yang membawa cinta.

Penyebab kelahirannya juga bukan hanya karena perkawinan fisik semata, tapi juga karena pertautan cinta antara ayah dan ibunya.

Tanpa cinta, mustahil seorang anak dapat tumbuh seyogyanya. Sebab, cinta orangtua adalah sumbu bagi pembakaran spirit hidup anaknya. Semakin pendek sumbu cinta orangtua, maka semakin redup pula asa hidup anaknya.

Berapa banyak orangtua yang merindukan kelahiran sang anak. Bahkan rindu mereka melampaui masa penantian Ibrahim dan Sarah. Namun sayangnya, mereka yang diberikan produktivitas sexual oleh Tuhan, justru melakukan kekerasan terhadap anaknya.

Alih-alih melakukan intropeksi diri, orangtua justru mengklaim kekerasan sebagai metode paling efektif dalam mendidik anak.

Padahal, memotong hewan kurban saja kita harus bersikap lemah lembut; menggunakan pisau tajam, mengucapkan basmalah, dan bertakbir (Q.S. Al-Hajj: 36).

Bukankah pendidikan memanusiakan manusia lebih memuliakan? Seperti kata H.A.R. Tilaar (2005) hakikat pendidikan adalah proses memanusiakan anak manusia, yaitu menyadari akan manusia yang merdeka.

Rumah kita semestinya menjadi zona pembinaan karakter, yang mencerminkan keteladan, mempraktekkan kejujuran, mempertautkan rasa cinta dan kasih sayang.

Cinta orangtua pada anaknya adalah tebusan atas tragedi pengorbanan anak sepanjang sejarah, mulai dari Habil, Ismail, hingga anak-anak kita sekarang. Bukan cinta biasa, tapi cinta yang menembus dinding langit melewati cakrawala pandang manusia. Tidak ada dua aku tetapi satu. Kepasrahan total yang mengharu biru, gandrung-gandrung kapirangu.


Oleh: Mustamar Iqbal Siregar

Dosen FTIK IAIN Langsa
sekaligus Mahasiswa Doktoral di UIN Imam Bonjol Padang


Acuan Pustaka

H.A.R. Tilaar. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Kompas.
Rahmanto, B. 1992. Simbolisasi dalam Seni, Basis, Maret.












Admin

Admin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.