Zawiyah News | Opini - "Ikut
rahar (rapat harian) sebentar di sekretariat yuk?". "Maaf
lah, aku ga bisa, mau ke warnet nih, nyari tugas". Sebuah percakapan mainstream sesama
mahasiswa disuatu kampus negeri ini. Ada lagi yang begini, “Ayo kita ikut
diskusi itu !.” “Engga ah, malas. Ada tanding futsal nanti jam 02.00!!”. Dan
masih banyak lagi alasan klasik nan tradisional yang dikemukakan para pecinta
bangku perkuliahan (red: mahasiswa). Sebenarnya, apa yang mereka (mahasiswa)
cari?
Mari kita lihat siklus kehidupan mahasiswa zaman sekarang. Dimulai dari berangkat kuliah, lalu duduk diruangan, menunggu dosen yang terkadang ngaret terkadang juga ngabsen, lalu mendengarkan paparan teman yang mempresentasikan makalahnya, bertanya dan selesai. Normalnya begitu, lain cerita jika dosen tidak hadir. Para mahasiswa langsung membooking lapangan futsal (seolah belum habis masa SMA mereka), atau duduk nongkrong di warkop kekinian, tertawa riang gembira seakan masa perkuliahan adalah fase termudah di hidupnya. Pun begitu mahasiswi, kalau tidak ke warnet (mencari tugas nyambi fesbukan) yaaa kembali ke kosan masing-masing, atau ke cafe2 kekinian pula, selfie, groufi, apalah namanya itu dengan dalih mengabadikan momen kebersamaan, katanya.
Namun tidak semua begitu, ada juga sebahagian dari mereka yang pergi ke perpustakaan, mencari buku, membukanya sebentar, bergaya, daaan selfie lagi. Atau memanfaatkan pelataran dan view perpustakaan yang instagrammable untuk...selfie, groufie, lagi-lagi dengan dalih mengabadikan momen, katanya. Begitu seterusnya sampai menjelang akhir semester, ketika warnet bukan lagi tempat fesbukan, perpustakaan bukan lagi tempat selfian, dan suatu masa dimana mahasiswi mengeluh “Lamar adeklah bang!!!”. Hingga tibalah diakhir penantian panjang mereka yang disebut wisuda. Setelah itu, apa? Menyalahkan pemerintah akan sempitnya lapangan pekerjaan atau susahnya mencari kerja. Banyaknya sarjana yang pengangguran, dan bla bla bla. Membosankan.
Jika sejak masa perkuliahan, mahasiswa hanya kuliah, rumah, dan mewah-mewah (bersenang-senang) maka begitulah output yang kelak dihasilkan. Mengutip tulisan Roem Topatimasang dalam bukunya Sekolah itu Candu, dengan sedikit editan, “Lantas, apa sebenarnya yang diajarkan dibangku perkuliahan; ilmu pengetahuan atau sekedar rubrik informasi ‘Sebaiknya Anda Tahu’? Cobalah kira-kira sendiri: berapa persen sebenarnya ketrampilan yang dipunyai oleh para lulusan kampus saat ini -atau lifeskill yang mereka miliki- benar-benar diperolehnya dari lembaga yang bernama kampus? Istilah kejam Everett Reimer, “Kampus Sudah Mati” (Kutipan aslinya adalah Sekolah Sudah Mati).
Kami berharap, semua pihak yang membaca tulisan sederhana ini, dosen, guru, orang tua, atau siapapun, jangan batasi mahasiswa untuk berenterpreneur dan jangan halangi mahasiswa untuk berorganisasi. Jangan jadikan mereka manusia “yes man” yang hanya terpasung dan termangu terhadap regulasi perkuliahan. Bebaskan mereka dengan berorganisasi. Mahasiswa harus peka terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang terjadi di kampusnya. Tidak boleh hanya diam. Ingat, kalian adalah agent of change. Pembawa perubahan. Tidak cukup hanya datang, duduk, diam, dengar, dan pulang. Kalau kuliah sekedar kuliah, tikus juga kuliah. Kalau belajar sekedar belajar, kancil juga belajar. Mau jadi tikus???
Terakhir, mengutip kelakar bijak seorang George Bernard Shaw yang disempurnakan oleh guru besar ilmu ekonomi Universitas London, Mark Blaug, dalam kata pengantar bukunya An Introduction to The Economics of Education mengatakan, “He who can, does. He who cannot, teaches! He who cannot teach, take up research! He who fails at of all these, write textbook!” (Dia yang bisa, kerjakan. Dia yang tak bisa, ajarkan! Dia yang tak bisa ngajar, bikin penelitian! Dia yang gagal dalam semua itu, tulis saja buku pelajaran).
Jadilah mahasiswa yang berguna dalam hal apapun meski tak bisa apapun. Terus, sudah tau kan untuk apa kuliah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar