Breaking News
recent

Bertarung Signal Kuliah Digital

Coba bayangkan ketika proses belajar mengajar berpindah ke dunia digital sementara   signal di tempat tinggal mu kurang memadai. Apa yang akan terjadi?”


ZawiyahNews| Serba-serbi -Begitulah, sejak dikeluarkannya Edaran yang ditandatangai oleh Mendikbud Nadiem Makarim tentang Kebijakan Pelaksanaan Pendidikan Di Masa Darurat Covid-19 tertanggal 24 Maret 2020, sejak itu pulalah proses pembelajaran dilaksanakan dari rumah secara daring (online). Lalu mulailah persoalan muncul satu persatu. Seperti yang terjadi di daerah Labuhanbatu tepatnya di dusun Binanga Tolang, desa Tanjung Medan. Keputusan Mendikbud tersebut terasa sulit dilalui pelajar dan mahasiswa di sana, mengingat tidak semua daerah di Indonesia memiliki akses internet yang memadai seperti yang terjadi di dusun Binanga Tolang tersebut.

Dusun Binanga Tolang merupakan satu dari 14 dusun yang ada di Desa Tanjung Medan, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Dusun tersebut merupakan perbatasan akhir antara kabupaten Labuhanbatu dengan kabupaten Paluta. Meskipun begitu, dusun tersebut lebih maju dari dusun lain, karena di dusun Binanga Tolang sudah ada sekolah negeri mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, dan tidak sedikit dari pelajar yang tinggal di dusun tersebut melanjutkan kejenjang perguruan tinggi. Disini lah tantangan mulai muncul ketika para pelajar dan mahasiswa diharuskan mengikuti pembelajaran daring di kampung masing-masing, sementara signal di Dusun tersebut masih kurang memadai. Dan ketika mati lampu, maka secara otomatis signal pun akan ikut mati/hilang.

Sejauh ini, di Dusun Binanga Tolang sudah dilalui jaringan Wi-fi. Namun milik perseorangan lebih tepatnya si kaya, yang tinggal di dusun tersebut. Jika ingin menggunakan Wi-fi si kaya tersebut, maka akan dikenakan biaya Rp. 3.000 sampai Rp. 20.000 untuk pemakaian dengan waktu yang di tentukan. Meskipun begitu, mahasiswa dan pelajar tetap kesulitan mengikuti perkuliahan, karena Wi-fi hanya bisa dipakai 100 orang sementara lebih dari 100 orang yang menggunakannya. Sehingga alternatif lain digunakan adalah dengan membeli kuota internet. Kemudian mereka akan pergi ke bukit yang letaknya di ujung dusun. Sementara beberapa pelajar/mahasiswa lainnya tetap menggunakan wi-fi yang ada karena tidak sanggup membeli kuota, dan ada juga yang berjuang di rumah sendiri dengan berdiri di samping jendela kemudian meletakkan HP di dinding rumah agar sinyal bisa menetap.

Bertarung memang tidak hanya soal menang dan kalah, melainkan mencari solusi terbaik agar tidak terjadi hal buruk. Sejak satu tahun terakhir kuliah digital merupakan tantangan baru bagi para pelajar/mahasiswa khususnya yang tinggal di pelosok desa. Mereka harus berjuang ekstra demi mengikuti keputusan Mendikbud tersebut.

Setiap kali ada jam kuliah/pelajaran, para pelajar/mahasiswa mulai menyusun  strategi agar bisa mengikuti perkuliahan seefektif mungkin walaupun pada dasarnya itu hal yang mustahil mengingat kapasitas signal yang ada. Disini lah pertarungan dimulai ketika mereka berjuang untuk mencari signal dengan beragam cara. Seperti menaiki bukit dengan membawa handphone dan buku, memegang handphone dan berdiri di pojokan rumah selama jam perkuliahan, naik ke loteng rumah di siang terik, nyenderin handphone di dinding rumah dengan posisi lesehan, dan tidak sedikit yang memilih pergi ke rumah saudara yang tinggal di Kota, seperti yang penulis lakukan.

Begitu banyak keluhan dari para pelajar dan mahasiswa yang tinggal di dusun tersebut, tetapi pemerintah setempat seperti tidak mau tahu dan seolah-olah tidak melihat penderitaan serta perjuangan para pelajar/mahasiswa. Secara letak, dusun tersebut lebih rendah dari dusun yang lain, sehingga ketika di dusun lain signal memadai, maka tidak begitu dengan dusun Binanga Tolang. Karena lokasinya yang berada di bawah bukit, signal yang dipancarkan sulit ditemui.

Dari semua mahasiswa yang mengikuti perkuliahan daring dari kampusnya masing-masing, beberapa yang diwawancarai, menyebutkan berbagai keluhan. Seperti yang disampaikan M. Holong Munthe, mahasiswa UINSU. Munthe mengataan, “kuliah tatap muka saja kita belum tentu paham, apalagi online seperti ini, apalah yang kita dapat? Apalagi signal di sini belum merdeka, hmm… lengkap lah sudah penderitaan“. Ibnu Khalid Tambunan, Mahasiswa Univesitas Riau pun mengatakan hal serupa, “Tolonglah Pemerintah Desa buat bantuan untuk mahasiswa, karena kan mahasiswa yang aktif kuliah daringnya. Jadi dibuat wi-fi gratis khusus untuk para mahasiswa terus disediakan tempat belajarnya juga, kalau misalnya nggak memungkinkan membangun tempatnya ya udah di Kantor Desa saja kan bisa”. Dan Debi Ritonga, Mahasiswi IAIN Langsa juga menambahkan, “memang betul-betul bertarung, jika kuliah online tapi sinyal di tempat kita gak mendukung banget, apalagi pas mati lampu, allahuakbar.. auto hilang sinyal dan kalaupun lampu hidup lagi sekitar 10 menit kemudian sinyal nya baru kembali, bayangin kalau pas kuliah tiba-tiba mati lampu, apa yang akan terjadi ?? Terpaksa harus transisi ke kota kalau mati lampu nya lama. Semoga pemerintah desa tergerak hatinya agar membuat anggaran untuk para pelajar yang saat ini terkena dampak corona. Minimal dengan ngisi kuota para pelajar yang tinggal di daerah itu”

Keluhan di atas, jika diteruskan tidak akan ada habisnya. Tetap akan ada yang selalu menjadi kambing hitam atas kekesalan dalam bertarung mencari signal. Namun demikian, haruskan kita berkubang dalam kemurungan? Tentu saja tidak. Bagaimanapun, kuliah daring terus berlanjut. Tugas tugas perkuliahan harus tetap diselesaikan. Memperoleh ilmu menjadi keharusan. Kehidupan juga terus bergulir. Hanya pelajar dalam zona hijau saja yang akhirnya bisa belajar dengan tatap muka secara bergantian. Seperti siswa SD Negeri 27 Bilah Barat dan SMP Negeri 2 Bilah, Labuhanbatu.

Jadi, siapa yang ingin corona ini berlanjut? Tentu semua kalangan akan menolak tanpa terkecuali. Mengingat seluruh sendi kehidupan tidak terkecuali dunia pendidikan terkena dampaknya. Untuk itu perbanyaklah doa, marilah mengindahkan protokol kesehatan yang dianjuran Pemerintah, yaitu mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker, menghindari keramaian, dan membatasi interaksi. Karena mencegah jauh lebih baik daripada mengobati. Mari sama-sama mematuhi protokol kesehatan agar wabah cepat berlalu, dan pembelajaran kembali normal dengan tatap muka sehingga para pelajar/mahasiswa yang tinggal di pelosok desa tidak perlu bertarung signal lagi demi mengikuti perkuliahan digital.

Penulis : Debi Cinta Marito Ritonga 
Mahasiswi Pendidikan Matematika IAIN Langsa
Admin

Admin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.