Essay- Mungkin kamu masih asing dengan istilah catcalling, padahal catcalling kerap terjadi kepada kita terutama kaum perempuan. Catcalling sendiri diartikan sebagai panggilan dan komentar yang bernuansa seksual dari seorang laki-laki maupun perempuan yang lewat dihadapannya. Catcalling tak jarang terjadi di ruang publik, umumnya terjadi di jalanan atau fasilitas umum lainnya. Secara lebih luas, catcalling dapat disebut juga street Harassment. Tindakan catcaling dapat berupa ucapan yang besifat seksual, siulan, atau pujian yang terkadang disertai kedipan mata, yang membuat korban merasa tidak nyaman, terganggu, bahkan merasa terteror. Contoh sederhana yang sering kita alami adalah dipanggil “sayang”, “cantik” atau “ganteng”, “hai mau kemana ?”, ketika melewati sekelompok laki-laki yang sedang duduk-duduk. Tindakan tersebut dinamakan catcalling. Catcalling bisa terjadi kepada siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan yang dilakukan secara beramai-ramai atau sendiri.
Sayangnya, di negara kita Indonesia ini catcalling masih
dianggap hal yang lumrah. Bagi kaum laki-laki mereka menganggap hal tersebut
merupakan keisengan saja, bahkan mereka melakukannya sambil tertawa-tawa
menganggap hal tersebut adalah suatu hal yang lucu, padahal korban yang mengalami tidak merasa demikian. Korban
merasa tidak nyaman atau risih. Tidak sedikit juga banyak dari para perempuan
yang marah ketika menjadi korban catcalling karena catcalling merupakan hal
yang tidak terpuji yang memliki makna tersirat didalamnya.
Namun, tidak semua sepakat catcalling itu pelecehan dan tidak
sedikit pula yang menganggap catcalling itu tindakan pelecehan. Catcalling
menjadikan perempuan sebagai objek seksual yang membuat korban terluka secara
psikis. Disisi lain, yang menganggap catcalling merupakan hal yang “wajar” dan
hanya lelucon saja, mereka menganggap tidak masalah jika menerima siulan atau
panggilan laki-laki dipinggir jalan dan tidak ada unsur seksual pula
didalamnya.
Data statistik mengungkapkan bahwa sebanyak 90% perempuan
pernah mengalami pelecehan di jalan setidaknya sekali dalam hidup mereka. 1
Perbuatan yang menimbulkan rasa tidak aman ini, seperti yang di sebutkan
diatas, dikategorikan sebagai street harassment. Street harassment merupakan
tindakan-tindakan seperti bersiul, menatap atau melotot secara berkepanjangan,
meraba-raba, mengikuti seseorang dan komentar verbal yang mengganggu.
Menurut laporan yang berjudul “Unsafe and Harassed in Public:
A National Street Harassment Report”, street harassment atau pelecehan di jalan
diartikan merupakan suatu interaksi yang tidak diinginkan yang terjadi pada
ruang publik yang melibatkan dua pihak atau lebih yang tidak saling mengetahui
satu sama lain dan biasanya disebabkan oleh faktor gender, orientasi seksual
atau ekspresi gender, yang mengakibatkan korban merasa kesal, marah, malu
ataupun takut.
Hal ini akan berdampak bagi kehidupan korban. Pada tingkatan
tertentu korban catcalling dapat mengalami trauma yang berkepanjangan. Ini akan
berpengaruh pada kegiatan sehari-hari korban, dan jika dibiarkan korban menjadi
membatasi pergerakan, yang akan mempengaruhi kualitas hidup dan menghambat
perkembangan pribadi. Efek terburuk catcalling dari penelitian yang dilakukan
di Norwegia adalah despresi, kecemasan, harga diri rendah dan kurangnya harga
diri. Sudah jelas hal ini berdampak besar bagi korban, namun yang menjadi
permasalahan saat ini adalah pelecehan secara verbal yang dilakukan di jalanan
masih dianggap hal yang biasa atau lumrah di masyarakat kita.
Masyarakat beasumsi bahwa, ketika ada perempuan yang
mengalami pelecehan seksual dalam bentuk apapun baik verbal maupun non verbal,
reaksi dari sebagian masyarakat adalah masih menyudutkan korban, masyarakat
mengatakan hal tersebut dapat terjadi karena salah korban yang mengenakan
pakaian yang disebut “mengundang”. Namun, pakaian bukanlah alasan terjadinya
catcalling, karena banyak juga korban catcalling yang sudah menggunakan pakaian
tertutup masih menjadi korban, ada jurnal yang yang menyebutkan negara-negara
dengan menggunakan pakaian tertup bahkan menggunakan cadar, seperti mesir mesir
dan lebanon, juga tidak terhindar dari catcalling dan masyarakat juga berasumsi
bahwa itulah risiko yang harus diterima oleh perempuan jika berpergian
sendirian. Bukankah ini tidak adil ? Selalu menyalahkan perempuan yang menjadi
korban ketika permasalahannya yang sebenarnya terletak pada kultur pelaku itu
sendiri yang menggap perempuan sebagai objek seksual.
Penulis: Aufhika Banafsaj Mahasiswi Prodi Syariah Jurusan Ekonomi Syariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar