Breaking News
recent

Sejarah Desa Manyak Payed, Misteri Putri Geuma dan Patih Gadjah Mada

Zawiyah News | Raja Tamiang memiliki seorang putri yang sangat cantik. Namanya Potuan Putri Meuga Gema atau lebih dikenal dengan Putri Rindu Bulan. Pesona kecantikannya  membuat semua orang melupakan keindahan bulan. Maka tak heran jika julukan Putri Lindung Bulan dikaitkan dengannya. Dimana pada saat ini nama itu dinobatkan sebagai julukan sekolah SMU Negeri 1 Kejuruan Muda, bernama SMU Lindung Bulan di desa Durian kecamatan Rantau Aceh Tamiang. Putri Rindu Bulan yang dikabarkan akan ditunangkan dengan pangeran kerajaan Perlak menjadi sorotan raja-raja dibeberapa kerajaan untuk mempersunting tak terkecuali Patih Gadjah Mada.

Menurut lisan leluhur, sebab umum pasukan Maja Pahit yang memasuki kawasan Aceh Tamiang dikarenakan panglima tersebut hendak mempersatukan Nusantara hingga rela tak mengkonsumsi buah kelapa. Namun dibalik itu ternyata sebab khususnya adalah karena lelaki yang dipercaya sebagai pemersatu bangsa itu terpikat atas keindahan dan kecantikan putri bungsu Raja Muda Sedia yaitu Putri Lindung Bulan untuk dijadikan hadiah bagi sang raja, Prabu Hayam Wuruk.

Alkisah disuatu masa setelah Gadjah mada mengucapkan Sumpah Palapa untuk menyatukan nusantara, maka Gadjah Mada beserta pasukan kerajaan Maja pahit yang jumlah nya ribuan menyerbu raja-raja yang berkisar kepulauan Jawa. Setelah puas dengan kemenangannya maka Madja Pahit segera menyebar ke kawasan pulau sumatera dan pulau-pulau lainnya, saat itu hampir keseluruhan pulau sumatra dikuasai oleh kerajaan Aceh, yang menaungi kerajaan-kerajaan kecil lainnya. Satu persatu kerjaan dari palembang, padang tumbang dihancurkan dan ditaklukkan oleh sang Panglima Gadjah Mada. Suatu hari tibalah pertarungan oleh Pasukan kerjaan Maja Pahit dengan Pasukan kesultanan Deli, namun kesultanan Deli tidak mampu bertahan lama dan  takluk.

Pasukan Gajah Mada terus menjelajah, selanjutnya penyerangan itu berlanjut ke Tamiang dengan berpangkalan di daerah Manyak Payet. Penyerangan berawal ketika Putri Bungsu Lindung Bulan yang kecantikannya luar biasa itu tersiar ketelinga Patih Gajah Mada. Karena pinangan itu ditolak oleh Raja Muda Sedia, Gajah Mada merasa tersinggung lalu menyerang Karajaan Benua Tamiang.

Untuk mengantisipasi hal tersebut maka dikirimlah seorang utusan ke kuta radja untuk meminta bantuan bala tentara. Sultan Aceh menyetujui mobilisasi pasukan khas didampingi oleh 7 panglima perang yang kononnya punya ilmu kebal. Selang bebarapa minggu berhadapanlah pasukan Gadjah Mada dengan pasukan Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Hantom Manoe. Hantom Manoe bukanlah nama aslinya, melainkan nama yang diambil dari kata hana mano sebab panglima tersebut dilarang mandi guna menjaga kekebalan tubuhnya.Perang berkecamuk dengan hebatnya selama tujuh hari tujuh malam, dan akhirnya Gadjah Mada terbunuh ditikam oleh panglima Kerjaaan Aceh. Dan pasukan kerajaan Maja Pahit mundur teratur untuk balik ke kampungnya dan meratapi kesedihan akibat kekalahan. Untuk mengenang kemenangan kerajaan aceh terhadap pasukan Gadjah Mada dari kerajaan Maja Pahit tersebut, maka kampung/ lokasi tempat pertempuran di daerah Aceh Tamiang tersebut dinamakan menjadi kampung Manyak Pahit, adobsi dari nama kerajaan Maja Pahit. Kampung ini sampai sekarang masih ada di Aceh Tamiang tidak jauh dari Pusat Kabupaten Aceh Tamiang dan juga dekat dengan Kota Langsa. 

Maja Pahit diambil dari buah maja yang pahit, namun oleh panglima kerajaan aceh kawasan tersebut dipelesetkan menjadi Manyak Pahet, yang artinya anak kecil yang pahit. Mungkin cuma untuk menunjukkan bahawa Gadjah Mada dan pasukannya terhenti di Kawasan ini, ataupun mungkin karena dialek orang Aceh yang kesusahan untuk mengucakan kata-kata Maja Pahit secara fasih dan akhirnya menjadi Manyak Pahet.Pada cerita rakyat pada umumnya, Gadjah mada menghilang karena menuju Nirwana (terbang kesurga akibat bertapa dan menjadi dewa) namun hal tersebut menurut pengalaman lisan leluhur Aceh Tamiang; merupakan kedok dari pasukan Gadjah Mada untuk menjaga moral dan nama baik agar tetap tinggi dan tidak malu akibat gagalnya Gadjah mada memenuhi sumpah palapa untuk menyatukan seluruh kerajaan Nusantara.

Tentang kebenaran cerita tersebut, siapa yang tahu jika tidak dilakukan penelitian sejarah secara lebih lanjut. Namun mendengar nama desa manyak payed dan hikayat cerita masyarakat disekitara kawasan sekiranya memang hal tersebut benar adanya. Namun sejarah Indonesia tidak pernah menceritakan apapun tentang tewasnya Gajah Mada di Kerajaan Aceh Tamiang. Yang ada hanya semangat dan sumpah palapa seorang patih Hayam Wuruk tersebut sebagai oknum yang dianggap pemersatuNusantara. 

Terkait dengan itu, beberapa tahun lalu pihak dari Tim arkeologi dari Balai Arkelogi Sumatera Utara bekerjasama dengan Dinas Budaya, Pariwisata dan pemuda Olaharaga (Disbudparpora) Aceh Tamiang juga pernah menyambangi beberapa makam yang dianggap sebagai makam dari Patih Gadjah Mada dan beberapa peninggalan zaman dulu seperti kolam yang terdapat dimasjid syuhada desa masjid. 

Hasil ekskavasi Dari penggalian pertama di benteng anak Sisingamaraja, tim menemukan pecahan gerabah dan koin kuno masa Hindia Belanda. Benteng tersebut, dulunya setinggi dua meter dan saat ini masih terlihat gundukannya. Dari penggalian ini diketahui bangunan benteng tersebut memiliki tinggi setengah meter, dan bentuknya persis dengan benteng-benteng yang ada di daerah batak. Bisa jadi benteng ini dibangun untuk pengamanan putri Raja Sisingamaraja yang disebut warga pernah berdiam di daerah ini. 

Lokasi ekskavasi kedua dilakukan di pemakaman tua di Dusun Darul Falah, Desa Mesjid. Namun tidak ditemukan artefak di lokasi itu. Namun, pada batu nisan terdapat tulisan arab dengan tahun 1316 Hijriah. 

Penelitian ketiga dilakukan di kolam di Masjid desa setempat yang kedalamannya 2,5 meter. Kolam tersebut di bawahnya terdiri dari kayu ukuran 70 centimeter dengan tebal 20 cm. Di atasnya terdapat susunan ballast stone (batu penyeimbang) kapal. Kayu yang didapat dari penggalian itu akan diuji karbon untuk mengatahui umur kolam tersebut. Keberadaan batu sendimen di atasnya, menurut perkiraan tim arkeolog, merupakan barang bawaan kapal pada masa lalau, sebagai penyeimbang kapal saat berlayar dalam keadaan kosong. Ketika kapal memuat barang seperti rempah-rempah, batu penyeimbang tersebut ditinggalkan. Dari temuan sementara hasil penggalian ini, tim arkeolog belum menemukan tanda-tanda peninggalan Kerajaan Majapahit. Namun, pihaknya belum mengetahui apakah pasukan Majapahit saat itu singgah di daerah ini, atau hanya sekedar melakukan patroli laut. Karena dalam sajerah, Tumihang (Aceh Tamiang) masuk dalam wilayah Kerajaan Majapahit.Walaupun demikian, belum juga dijumpai kejelasan megenai hal tersebut.

Gambar Kunjungan Dinas Pariwisata dan Arkeolog.{2016, mei}




  



(Heri Munanda)

Admin

Admin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.