Zawiyah News | Hayyy… Apa kabar?
Yang sedang berhadapan dengan tulisan singkat ini, kuharap kalian baik-baik saja, berawal ketika aku membuka mata sembari mentatap plafon rumah yang berhiaskan sarang laba-laba dan beberapa cicak yang sedang menunggu serangga hingap di dinding yang terbuat dari kayu.
Sembari rasa malas yang masih memaksaku berbaring di tempat tidur setebal dua inci itu membuatku nyaman berbaring semalaman di atasnya. Aku bangkit dan menoleh kekanan melihat kawan yang belum ada tanda-tanda terbangun dari tidurnya, aku bergegas ke kamar mandi yang ditutup satu meter beton dari lantai dan di tambah seng penutup pandangan, perlahan aku mengambil air dengan gayung berwana biru tua dan menyiramnya ke ujung jari-jari kaki, segera aku mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat.
Aku berjalan keluar dari rumah pangung berukuran lapan kali enam meter itu yang berwarnakan hijau membuatnya seolah menyatu dengan alam.
Kabut yang masih menyelimuti halaman asrama disertai kicauan burung yang sedang terbang kesana kemari mencari makan, pohon kurma yang berjarak tiga meter tepat di depan asrama dikelilingi pagar papan terlihat segar pagi itu, pohon yang dengan tegapnya berdiri sekitar 20 meter dari tempatku berdiri belum tampak jelas, aku beranjak dari teras yang bila berbaring hanya muat tiga orang. perlahan aku menuruni tiga anak tangga terbuat dari kayu merbo yang tahan puluhan tahun lamanya membuat warga setempat menjadikannya tiang atau tangga rumah. Aku perlahan berjalan menembus kabut yang seolah membuat baju berlengan pendek yang menyelimuti tubuhku terasa basah, rasa dinggin membuat tanganku mendekap tubuhku.
Tepat pukul enam pagi, warna kuning tua mulai muncul di sela-sela ranting pepohonan seperti ingin menyapa kabut yang sedang beranjak pergi, tak berselang lama mulai tampak gunung-gunung di sekeliling asrama dan perkebunan pohon karet itu menjadi hari terakhirku tinggal di asrama.
Deru mesin perahu yang perlahan meninggalkan pelabuhan yang rindang dengan pepohonan dan tumpukan kayu bakar membuat tempat parkir menjadi sempit, aku menatap gunung yang perlahan mulai menjauh dari pandanganku, gemuruh suara angin yang menerpa wajahku terasa dingin hingga sesekali aku menundukkan kepala menghindari cipratan air dari sengolan perahu dengan ombak-ombak kecil.
Aku menatap pantai penuh bebatuan membuat pikiranku kembali mengingat orang tua dirumah, serasa belum siap meninggalkan mereka, tapi apa boleh dikata, inilah jalan yang aku pilih sebab ingin mencari ilmu di rantau orang.
Wahyudin Syahputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar