Breaking News
recent

Padi Gunung Sebagai Nadi Kehidupan Masyarakat Desa Tampur Paloh Kecamatan Simpang Jernih

Padi gunung milik salah satu warga Desa Tampur Paloh yang ada di tepi sungai
Abstrak

Suku Gayo merupakan suku terbesar kedua yang mendiami Aceh dengan tiga pembagian subsuku, yaitu : Gayo Laut, Gayo Lues dan Gayo Blang. Gayo Lues merupakan salah satu subsuku gayo yang mendiami daerah Kabupaten Gayo Lues dan sebagian lagi mendiami daerah Desa Tampur Paloh di Kecamatan Simpang Jernih Aceh Timur. Hal yang menarik dan menonjol dari masyarakat Tampur Paloh ini yaitu tanaman padi yang masih berada dalam kawasan hutan. Adat mengatur padi sedemikian rupa mulai dari proses pembukaan lahan hingga padi dikonsumsi oleh masyarakat. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana keberlanjutan perladangan padi secara tradisional yang berlangsung hingga kini. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan observasi partisipatif sebagai sumber data. Eksistensi padi gunung pada masyarakat Tampur Paloh masih ada hingga sekarang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu; (1) Ketergantungan masyarakat pada bahan pangan pokok yaitu padi, (2) Sistem cocok tanam yang sudah diwariskan oleh leluhur secara turun temurun, (3) Ketersediaan lahan, (4) Sulitnya transportasi dan akses jalan masyarakat untuk merasakan alat-alat pertanian modern seperti pupuk, pertisida dan mesin pertanian modern. Kesimpulannya dengan adanya padi gunung atau padi ladang ini sangat membantu memenuhi kebutuhan sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Kata kunci : Masyarakat gayo, padi gunung.

PENDAHULUAN

Gambaran Etnis Gayo dalam meliputi pusat Pegunungan Bukit Barisan bagian utara yang merupakan dataran tinggi dengan ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut. Wilayahnya terpotong oleh punggung-punggung bukit yang merupakan hulu-hulu sungai besar dan penting, seperti; Sungai Peusangan, Meulaboh, Jambu Aye/Jemer, Tripa, Tamiang, dan Sungai Perlak juga beberapa anak sungainya. Pada bagian Utara terbentang bukit barisan merupakan batas alam yang memisahkan Tanah Gayo dengan pesisir Aceh bagian utara. Bagian barat melengkung di bagian hulu Sungai Senagan, arah ke Timur Bur Ni Alas, dan Bur Ni Serbe Langit yang langsung berbatasan dengan Tanah Alas dan Tanah Batak. Secara tradisional, wilayah Tanah Gayo terbagi atas empat bagian yaitu Wilayah Lut Tawar, Wilayah Deret (daerah Jambo Aye), Wilayah Gayo Lues dan Gayo Tanyo, serta wilayah Serbejadi.

Suku Gayo sendiri kemudian terdiri dari tiga subsuku, yaitu : Gayo Laut, Gayo Lues, dan Gayo Blang. Gayo adalah salah satu suku yang mendiami dataran tinggi di Provinsi Aceh bagian tengah. Wilayah tradisional suku Gayo meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Gayo Lues, dan menyebar di beberapa Kabupaten Aceh Tenggara juga Aceh Timur termasuk Desa Tampur Paloh. Tampur Paloh merupakan salah satu dari 9 desa yang terletak di Simpang Jernih yang berbatasan langsung dengan desa Tampur Boor dan Melidi. Tampur Paloh memiliki luas 130,00 km2. Berada tepat di hulu sungai Tamiang dengan memakan waktu tempuh 5 jam perjalanan menggunakan long boat dari Dermaga Kabupaten Tamiang, sedangkan 2 jam perjalanan dari Dermaga Batu Sumbang Simpang Jernih. Asal usul masyarakat Gayo yang mendiami Desa Tampur Paloh di pengaruhi oleh faktor ekologi. Ini dimulai saat banjir bandang 2006 silam yang mengharuskan masyarakat untuk berpindah ke atas bukit. Tampur Paloh merupakan desa terpencil yang ada di Aceh.

Padi merupakan tanaman yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup mereka. Sarana utama penghidupan sebagian besar masyarakat adalah ladang berpindah yang umumnya ditanami padi ladang. Saat musim padi telah selesai, lahan yang sudah ada akan ditanami dengan tanaman lainnya. Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana keberlanjutan perladangan secara tradisional di Desa Tampur Paloh serta apa yang menyebabkan budaya penanaman padi secara tradisional ini masih terus diterapkan. Adapun tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui bagaimana keberlanjutan perladangan secara tradisional dan mengetahui faktor penyebab dari eksistensi penanaman padi secara tradisional pada masyarakat Gayo di Desa Tampur Paloh.

METODE

Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif. Kualitatif adalah metode yang bertujuan untuk menerangkan fakta dan data yang diperoleh dari hasil observasi lapangan, dan wawancara mendalam. Observasi secara partisipatif peneliti gunakan agar terlibat langsung dalam kegiatan harian individu yang sedang diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN 
Padi gunung atau padi ladang ini merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan pertanian padi di dataran tinggi atau gunung. Pertanian ini biasanya terjadi di daerah-daerah dengan ketinggian yang lebih tinggi daripada daerah pertanian padi biasa. Padi gunung sering kali tumbuh dalam iklim yang lebih sejuk dan memiliki tantangan tersendiri dalam hal pengelolaan tanaman dan panen.

Padi ladang yang dikembangkan oleh masyarakat Gayo di Desa Tampor Paloh ini sudah lama ada sejak bencana banjir bandang tahun 2006. Kondisi persawahan yang tertutup tanah kurang lebih 3 meter itu mengharuskan masyarakat beralih media tanam. Awalnya masyarakat membudidayakan jenis padi yang memang sudah ada di gunung seperti; Congkeh, Sekuning dan Rentang Tajuk. Kemudian seiring dengan pemulihan masyarakat pasca bencana banjir bandang, LSM yang bergerak di bidang kemanusiaan juga membawa bibit-bibit padi lainnya seperti; Serias Kuning dan Segedul yang saat ini menjadi mayoritas padi yang umum di tanam masyarakat. Padi-padi ini tahan kekeringan dan akan menghasilkan padi terbaik pada monokultur.

Apabila ingin membuka lahan atau menggarap hutan harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu yaitu : pertama, memberitahukan maksud kepada kepala suku atau kepala adat; kedua, seseorang atau beberapa orang nantinya akan ditugaskan mencari hutan yang cocok; ketiga, apabila sudah diperoleh secara pasti maka upacara pembukaan hutan akan dimulai. Masyarakat suku Gayo di Tampor Paloh menggunakan beberapa tahapan, yaitu; (1) Musyawarah (pakat), (2) Pemberian tanda (osah tene), (3) Sebar tawar (nyeme), (4) Penebasan (nebes), (5) Pemagaran batas lahan (meger batas rebe), (6) Membakar ladang (nelongi rebe), (7) Membersihkan sisa ladang setelah pembakaran (berseh tora rebe mari nelong), (8) Penanaman padi (najuk/nyuen rom), (9) Membersihkan rumput (bersehen kerpe), (10) Menyimpan padi (nason rom). Adapun sistem tanam yang digunakan masyarakat adalah sistem pertanian kering (perladangan).

Proses pembukaan lahan dimulai dengan tahapan musyawarah dengan seluruh masyarakat untuk memilih lahan bagian mana yang akan dibuka. Kegiatan ini biasanya dilakukan saat bulan Maret. Lahan yang sudah di tetapkan akan dibuka secara massal dan nantinya luas ladang akan dibagi secara adil berdasarkan tenaga kerja yang tersedia saat pembukaan lahan. Setiap keluarga memiliki luas ladang yang berbeda-beda yang nantinya diberi batas berupa pagar kayu. Pembukaan hutan sekunder biasanya dilakukan oleh seluruh masyarakat didampingi oleh kepala suku (palalong).

Sebelum adanya pembukaan biasanya akan dilakukan upacara dengan sebar tawar lahan yang akan dibuka. Sebar tawar akan dilakukan oleh orang-orang tua dengan beragam rangkai bunga dan rerumputan seperti : Daun kayu teguh, rumput jejerun beserta akar, dan pinang merah. Tumbuhan ini kemudian akan dicincang halus dan diletakkan dalam sebuah baskom besar yang nantinya akan dicampur dengan kue apam dan bertih padi pulut lalu barulah tawar disebarkan. Nantinya sambil menebar tawar, kepala suku akan membacakan doa-doa dan dzikir yang berbunyi “Subhanallah walhamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar” sebanyak 7 kali. Sebar tawar ini biasanya dilakukan pada bulan Juni.

Penyiapan lahan biasanya dilakukan pada musim kemarau (atau saat kondisi tanah kering karena pengeringan lahan saat panen musim tanam sebelumnya). Kemudian masyarakat akan bahu-membahu membabat hutan sekunder. Setelah lahan bersih, biasanya masyarakat akan menunggu kurang lebih 1 bulan untuk dibakar. Setelah proses pembakaran selesai barulah laki-laki membuat lubang dengan kayu tajam berdiameter 1,5 meter dan perempuan akan memasukkan biji padi (inih) tersebut, kegiatan ini dinamai dengan kegiatan najuk. Najuk umumnya di mulai saat memasuki bulan Mei, ini disebabkan pada bulan tersebut hama seperti burung dan babi tidak terlalu banyak. Setelah 1,5 bulan ditanam, biasanya masyarakat akan kembali lagi untuk melakukan pembersihan gulma yang tumbuh di padi yang sudah berukuran sejengkal itu. Pembersihan gulma ini hanya dilakukan sekali selama masa penanaman. Tanaman padi biasanya akan dijaga sendiri oleh masyarakat tanpa menggunakan alat bantu seperti orang-orangan sawah dengan cara bergantian untuk mengantisipasi hama seperti monyet, babi dan burung.

Masyarakat Tampur Paloh tidak mengenal proses pemupukan, mereka hanya berpatokan pada kualitas tanah dan humus hasil pembukaan hutan. Sembari menunggu panen biasanya masyarakat akan kembali ke kampung dan melakukan perkerjaan lainnya seperti mencari kayu sengon, kayu gaharu, menangkap ikan jurong dan menyuling nilam. Setelah berumur enam bulan barulah padi menguning dan dipanen dengan menggunakan arit. Padi yang berbentuk gabah itu biasanya akan di jemur dan dibawa ke tukang giling untuk menghasilkan beras. Untuk proses pembayaran penggilingan padi sendiri biasanya di hargakan 1 kaleng padi di bayarkan 1 bambu, atau bisa juga di uangkan dengan dihargai sebanyak 1 bambu juga. Untuk bisa menghasilkan 1 kaleng padi maka lahan yang dibutuhkan kurang lebih setengah hektar. Setiap kaleng biasanya menghasilkan 10 bambu beras Tidak semua padi akan digiling, biasanya masyarakat akan meninggalkan kurang lebih 5 kaleng untuk dijadikan bibit di tahun depan.

KESIMPULAN
Masyarakat Gayo yang berada dikawasan Desa Tampur Paloh Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur ini hampir seluruhnya melakukan aktivitas berladang. Padi menjadi tanaman pokok yang hampir ditanam oleh setiap masyarakat. Pola dan teknik penanaman padi di Desa Tampur Paloh dan sekitarnya seperti Desa Melidi dan Desa Tampur Boor hampir serupa dengan mengandalkan hutan sekunder. Padi gunung atau padi ladang ini sangat potensial untuk dikembangkan karena geografis Desa seperti Melidi, Tampur Paloh dan Tampur Boor memiliki kawasan lahan kering dan perbukitan yang besar untuk tanaman jenis ini.

Padi gunung merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan pertanian padi di dataran tinggi atau gunung. Pertanian ini biasanya terjadi di daerah-daerah dengan ketinggian yang lebih tinggi daripada daerah pertanian padi biasa. Padi gunung sering kali tumbuh dalam iklim yang lebih sejuk dan memiliki tantangan tersendiri dalam hal pengelolaan tanaman dan panen.

Eksistensi padi gunung pada masyarakat Tampur Paloh masih ada hingga sekarang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu; (1) Ketergantungan masyarakat pada bahan pangan pokok yaitu padi, (2) Sistem cocok tanam yang sudah diwariskan oleh leluhur secara turun temurun, (3) Ketersediaan lahan, (4) Sulitnya transportasi dan akses jalan masyarakat untuk merasakan alat-alat pertanian modern seperti pupuk, pertisida dan mesin pertanian modern. Dengan adanya padi gunung atau padi ladang ini sangat membantu memenuhi kebutuhan sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

¹ Ketut Wiradyana and Taufikurrahman Setiawan, Merangkai Identitas Gayo, Edisi Pert. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia anggota IKAPI DKI Jakarta, 2011).
² Kistin Septiyani, “Suku Gayo, Suku Terbesar Kedua Di Aceh,” Kompas, 2022.
³ Muhammad Farhan Zuldiansyah and Firkawin Zuska, “Ethnographic Gayo Community Of Tampur Paloh Village In The Lower Tamiang River, Simpang Jernih District, East Aceh Regency, Aceh Province,” Progress In Social Development 3, no. 1 (2022): 33–43.
⁴ Ibid.
5 “Biodiversitas Journal of Biological Diversity,” Biodiversitas 7, no. 3 (2006).
6 Dr. Zuziana Susanti and dkk, Rekomendasi Budidaya Padi Pada Berbagai Agroekosistem, ed. Tim BB Padi, Cetakan Pe. (Subang: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2020).

DAFTAR PUSTAKA
Septiyani, Kistin. “Suku Gayo, Suku Terbesar Kedua Di Aceh.” Kompas, 2022.

Susanti, Dr. Zuziana, and dkk. Rekomendasi Budidaya Padi Pada Berbagai Agroekosistem. Edited by Tim BB Padi. Cetakan Pe. Subang: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2020.

Wiradyana, Ketut, and Taufikurrahman Setiawan. Merangkai Identitas Gayo. Edisi Pert. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia anggota IKAPI DKI Jakarta, 2011.

Zuldiansyah, Muhammad Farhan, and Firkawin Zuska. “Ethnographic Gayo Community Of Tampur Paloh Village In The Lower Tamiang River, Simpang Jernih District, East Aceh Regency, Aceh Province.” Progress In Social Development 3, no. 1 (2022): 33–43.

“Biodiversitas Journal of Biological Diversity.” Biodiversitas 7, no. 3 (2006).

Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Langsa.



Oleh: Muslihah, Wahyudin Syahputra, Sukma Irawan

Dosen Pembimbing Lapangan : Anwar S.Ag. M. Kom

Editor: M. Iqbal
Admin

Admin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.