Bubur Pedeh khas Melayu di Desa Pantai Balai. (Foto:Riki Julaiha) |
Penulis : Riki Julaiha (Peserta KKNMS Kelompok 7)
06 Agustus 2024, Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Melayu Serumpun berkesempatan menghadiri dan mempelajari lebih dalam mengenai tradisi bubur pedeh yang merupakan salah satu adat istiadat khas Melayu di Desa Pantai Balai. Ketika pertama kali mendengar nama "Bubur Pedeh", yang berarti bubur pedas, saya sempat bertanya-tanya mengapa sebuah bubur diberi nama yang mengesankan rasa tidak nyaman. Namun, setelah mempelajari lebih lanjut, saya menyadari bahwa di balik nama tersebut tersimpan filosofi hidup yang begitu dalam. Bubur pedeh adalah sejenis bubur yang dihidangkan pada acara-acara adat tertentu oleh masyarakat Melayu di kawasan ini.
Melalui pengamatan dan wawancara dengan beberapa masyarakat di Desa Pantai Balai, bubur pedeh memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Melayu setempat.
Bubur pedeh dibuat dari bahan-bahan lokal seperti beras, santan, gula merah, dan rempah-rempah khas. Proses pembuatannya pun masih dilakukan secara tradisional, dengan cara menanak dan mengaduk bubur hingga matang.
Bagi masyarakat Melayu di sini, bubur pedeh tidak hanya sekadar hidangan, melainkan merepresentasikan nilai-nilai dan filosofi dalam budaya Melayu. Pertama, bubur pedeh melambangkan kebersamaan dan rasa saling berbagi dalam komunitas. Bubur dibuat dan dihidangkan secara bersama-sama, mencerminkan solidaritas dan gotong royong yang erat di antara warga.
Selain itu, bubur pedeh juga diyakini mengandung makna spiritual dan simbolik. Bahan-bahan pembuat bubur, seperti beras, santan, dan gula merah, masing-masing memiliki filosofi tersendiri. Misalnya, beras melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan, santan melambangkan kemurnian, serta gula merah melambangkan kekuatan. Ketika disatukan dalam satu hidangan bubur pedeh, hal ini dianggap menyimbolkan keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan.
Dalam konteks adat istiadat, bubur pedeh kerap disajikan dalam upacara-upacara penting seperti kenduri, ritual keagamaan, atau perayaan tradisional. Kehadirannya memperkuat makna spiritual dan status sosial dari acara tersebut. Misalnya, bubur pedeh akan dihidangkan saat upacara adat kelahiran bayi, pernikahan, atau kematian, sebagai bentuk doa dan harapan bagi keluarga yang bersangkutan.
Melalui pengalaman hari ini, bubur pedeh bukan hanya sekadar tradisi kuliner, melainkan mengandung nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi kehidupan masyarakat Melayu di Desa Pantai Balai. Tradisi ini terus dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bentuk kecintaan terhadap warisan budaya.
Secara pribadi, saya merasa tercerahkan dan terharu menyaksikan betapa kuatnya keterikatan masyarakat Melayu dengan tradisi bubur pedeh ini. Kedalaman maknanya mengingatkan saya akan pentingnya melestarikan kearifan lokal di tengah arus globalisasi yang semakin kuat. Saya berharap dapat terus belajar dan menghargai keunikan budaya Melayu, khususnya melalui pengalaman langsung seperti yang saya alami hari ini.
Editor : Widya Dwi Putri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar