Tradisi kenduri tolak balak di Kecamatan Seruway Desa Pantai Balai. (Foto:Fazzahra Dwi Cia) |
Penulis : Fazzahra Dwi Cia (Peserta KKNMS Kelompok 7)
Desa Pantai Balai, yang terletak di Kecamatan Seruway, Kabupaten Aceh Tamiang, memiliki tradisi unik yang telah diwariskan secara turun-temurun, yaitu ritual tolak bala. Tradisi ini merupakan wujud kearifan lokal masyarakat pesisir dalam menghadapi tantangan alam dan kehidupan.
Kenduri tolak bala merupakan tradisi tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Seruway. Tradisi ini sudah menjadi kearifan lokal yang ada sejak lama, dan sampai hari ini masih dilaksanakan setiap tahunnya. Tradisi ini juga dilakukan di hari Rabu terakhir pada bulan Safar atau biasa dikenal dengan istilah "Rabu Habis".
Tradisi tolak bala lahir dari kepercayaan masyarakat setempat akan adanya kekuatan alam yang perlu dihormati. Sebagai masyarakat yang hidup berdampingan dengan laut, mereka percaya bahwa ritual ini dapat memberikan perlindungan dari berbagai bencana dan marabahaya, terutama yang berkaitan dengan aktivitas melaut. Kenduri tolak bala merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat pesisir sebagai bentuk rasa syukur .
Suara deburan ombak berpadu dengan alunan doa-doa tradisional, menciptakan simfoni alam yang khas di pesisir Desa Pantai Balai, Kecamatan Seruway, Aceh Tamiang. dibawah langit yang mulai memerah, ratusan warga berkumpul, memulai ritual tolak bala yang telah berlangsung selama berabad-abad. aroma dupa dan kemenyan menggelitik hidung, membawa saya pada perjalanan waktu, membayangkan bagaimana nenek moyang masyarakat pesisir ini pertama kali memulai tradisi ini. Apakah karena ketakutan akan murka alam? Atau sebagai ungkapan syukur atas limpahan rezeki dari laut? Pertanyaan-pertanyaan ini berputar dalam benak saya.
Sarah, warga dari Desa Pantai Balai , menjelaskan dengan mata berbinar, "Tolak bala ini bukan hanya tentang meminta keselamatan, nak. Ini tentang bagaimana kami menghargai alam, menjaga keseimbangan, dan mempererat tali persaudaraan."
Saya tertegun. Di era di mana individualisme semakin menguat, di sini saya menyaksikan sebuah komunitas yang masih memegang erat nilai-nilai kebersamaan. Setiap warga, dari yang muda hingga yang tua, memiliki peran dalam ritual ini. Tidak ada yang merasa lebih penting atau kurang berarti.
Namun, di balik kemeriahan ritual, saya juga melihat tantangan yang mengintai. Beberapa pemuda terlihat lebih sibuk dengan ponsel mereka, mengambil foto atau video untuk media sosial. Saya bertanya-tanya, akankah esensi ritual ini terkikis oleh gempuran teknologi dan modernisasi?
Kekhawatiran saya terjawab oleh Lena, yang aktif dalam kepanitiaan. "Kami sadar pentingnya melestarikan tradisi ini, tapi kami juga ingin membuatnya lebih relevan dengan zaman. Tahun ini, kami mulai menggunakan media sosial untuk mengedukasi masyarakat luas tentang makna di balik ritual ini."ujarnya.
Sebagai jurnalis, saya merasa tertantang untuk lebih dalam mengeksplorasi makna di balik tradisi-tradisi semacam ini. Bagaimana komunitas-komunitas tradisional di berbagai daerah menyikapi modernitas sambil tetap mempertahankan nilai-nilai luhur mereka? Apakah ada pola yang bisa dipetik sebagai pembelajaran bersama?
Tradisi tolak bala ini mungkin hanya satu dari sekian banyak kearifan lokal yang ada di Desa Pantai Balai ini. Tolak bala ini sudah menjadi bagian dari kehidupan selain sebagai wujud syukur, ini juga momen untuk mempererat tali silaturahmi antar warga.
Prosesi kenduri diawali dengan pembacaan doa oleh tokoh agama setempat, dilanjutkan dengan penyembelihan hewan. Kemudian dimasak bersama-sama dan disantap dalam suasana kebersamaan.Dalam pelaksanaannya, masyarakat bekerjasama mulai dari memasak menu hidangan hingga menyiapkan tempat berkumpul bersama dan memanjatkan doa Tuhan Seru Sekalian Alam, Allah Swt. Kaum Ibu/perempuan menyiapkan menu hidangan, dan kaum bapak/lelaki mempersiapkan tempat dan sarana pendukung lainnya secara swadaya dan seadanya.
Salah satu yang unik dalam tradisi ini adalah ritual melarung sesaji ke laut. Sesaji yang terdiri dari berbagai makanan, jenis buah-buahan, dan kue tradisional diletakkan di atas rakit
"Melarung sesaji ini simbol penghormatan kami pada penguasa laut. Kami berharap dengan ritual ini, para nelayan akan selalu diberi keselamatan dan hasil tangkapan yang melimpah," ujar Sarah , salah satu penduduk dari Desa Pantai Balai.
Menariknya, di tengah arus modernisasi, tradisi ini tetap mendapat dukungan dari generasi muda. Kak Sarah, "Kami bangga dengan tradisi ini. Ini bukan hanya tentang kepercayaan, tapi juga tentang menjaga warisan budaya dan kearifan lokal."
Warga daerah juga memberikan dukungan terhadap pelestarian tradisi ini, yang hadir dalam acara tersebut menyatakan, "Tradisi seperti ini perlu dilestarikan karena mengandung nilai-nilai luhur. Kami akan terus mendukung selama tidak bertentangan dengan agama dan norma yang berlaku."
Kenduri tolak bala di Desa Pantai Balai bukan sekadar ritual. Ia telah menjadi identitas kultural yang mempersatukan masyarakat, sekaligus potensi wisata budaya yang menarik. Di tengah derasnya arus globalisasi, tradisi ini menjadi bukti bahwa kearifan lokal masih memiliki tempat di hati masyarakat pesisir Aceh.
Editor : Widya Dwi Putri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar