Breaking News
recent

PUISI : PERGINYA SANG MERAH PUTIH


 
Ilustrasi google



Bendera yang telah lusuh itu pun
rupanya juga butuh kemerdekaan
tak ingin hanya jadi pajangan
setiap kali tujuhbelasan
semegah apapun tiangnya ditinggikan.
Hingga ketika paskibranya lengah
dia mengudar temali
dan terbang bersama desir angin pagi.

“Lihat, itu bendera yang paling berani!”
kata anak-anak jalanan yang tengah mandi di kali,
“Bendera macam itulah yang patut kita hormati!”
Bocah-bocah itu memberi hormat padanya,
penghormatan yang jauh dari seremonial upacara.

“Wah, itu bendera yang paling seksi.”
kata seorang pelacur yang belum sempat berpakaian
di jendela apartemen sang pelanggan.
Pelacur itu memberi penghormatan
dengan sisa kehormatannya yang penghabisan.

“Duhai, itu bendera yang paling bendera!”
kata seorang penyair kepada sekuntum bunga
yang tengah dia rayu untuk membocorkan rahasia
tentang embun yang membasahi kelopaknya.

“Hei, itulah bendera yang paling tabah!”
teriak pimpinan demonstrasi
yang nyaris menyerah
menuntut hak-hak buruh kepada pemerintah.


“Halah, itu bendera faling tak fenting!”
ujar pemimpin ormas garis keras
yang biasa mengkafir-kafirkan perbedaan identitas.

“Itu pasti bendera imitasi!”
kata seorang petinggi
yang ahli di bidang IT
namun tak hafal lagu kebangsaan sendiri.

“Kalau ada bendera, mau buat apa?”
sahut pejabat yang enggan menaikkan kecepatan internet
dan ketahuan mengikuti twitter situs pornografi.

“Itu pasti bendera yang tak lulus ujian nasional!”
olok wakil rakyat yang gemar merumuskan kurikulum kontroversial.

Bendera itu akhirnya tiba di sebuah gubuk derita
yang dalam tangisannya pun tak berani bersuara.
“Inilah bendera yang kita tunggu. Bendera yang kukibarkan dulu.”
kata seorang kakek renta
dengan hembusan napas terakhirnya.
Pimpinan Redaksi

Pimpinan Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.