Cipt : Jatian Draini
Merdeka !! Merdeka !! Merdeka!!
Gemuruh lantang kata itu terucap dari setiap bibir
bangsa Indonesia. Berabad –abad lamanya
Indonesia terbelenggu dalam haru, tertindas dengan keras dan terjajah oleh para
penjajah. Segalanya telah dikorbankan, harta, benda, jiwa dan raga. Pun tak
sedikit pejuang yang harus gugur di medan pertempuran demi membela Negeri
Indonesia tercinta.
Namun kini, Indonesia telah memproklamasikan
kemerdekaan. Dengan disaksikan ribuan pasang mata dan telinga. Sang Saka Merah
Putih telah berkibar gagah di ujung tiang tertinggi dan tak ada satu orang pun
yang berhak menurunkannya lagi. Indonesia Raya, Indonesia Pusaka, Indonesia
Merdeka!
Mereka sudah pergi
Meninggalkan bumi pertiwi
Kami bebas! Ya kami telah bebas
Tak ada lagi tangisan
Tak ada lagi ratapan
Tak ada lagi kesengsaraan
“Apa kau yakin kita sudah merdeka?” tanyanya kepadaku.
Kutatap wajahnya lekat, wajah yang mulai nampak lelah
dan kian menua. Sesaat ia pun mendaratkan tatapannya ke arahku.
“Dengan terbebasnya
Negeri ini dari penjajah , kurasa kita memang sudah merdeka ayah.”
Jawabku Lalu kami kembali terdiam untuk beberapa saat.
“Kita semua memang sudah terbebas dari para penjajah.
Namun , kemerdekaan yang sesunguhnya masih enggan menyapa pelosok negeri ini.”
Ujarnya kala itu memecah keheningan yang tercipta diantara kami.
“Maksud ayah?” tanyaku sedikit bingung dengan
pernyataanya.
“Kau akan segera mengerti maksud ayah”. Dengan
menyimpulkan senyum, Ia pun bangkit dari duduknya dan menggandeng lenganku.
“Sudah hampir maghrib , kita harus pulang.” Aku pun
mengangguk dan berjalan mengekor di belakangnya.
***
Pagi telah kembali, kala
satu mimpi terbangun lagi, dan satu malam terlewati lagi. Sejuk , tenang dan
damai. Itulah suasana pagi yang selalu tercipta di desa ini. Berbeda 180
derajat dengan tempat tinggalku di Ibu kota. Desa ini memang terpojok dan
berada di pelosok , namun bagiku tempat ini lebih menjanjikan kehidupan yang
menenangkan untuk para penduduknya. Tak kudengar suara bising klakson
kendaraan, hanya terdengar suara nyaring burung-burung camar yang mulai
berterbangan meninggalkan sarang untuk mencari makan.
Pagi ini aku sudah
berpakaian rapi dengan mengenakan atasan dan bawahan yang senada aku sudah siap
untuk mengabdikan diri sebagai tenaga pendidik di desa ini, desa kecil di ujung
barat Indonesia.
“Fatma , Mari cepat!” Bu
indri datang dengan sepeda tua yang dipinjamkan oleh sesepuh di desa ini.
Sepeda ini memang sengaja dipinjamkan kepada kami sebagai sarana transportasi
untuk dapat menjangkau sekolah di ujung desa yang jaraknya puluhan kilometer
dari rumah singgah kami anak kpm.
“Kau sudah siap?” Tanya bu
indri dengan senyuman khasnya. Aku pun
mengangguk dan segera membonceng dibelakang.
Perjalanan kami untuk
sampai di sekolah kira-kira memakan waktu sekitar 2-3 jam. Dengan melewati
berbagai rintangan yang tak mulus, akhirnya kami pun tiba di sebuah sekolah
yang berada di ujung desa tersebut. Batinku seketika berkecamuk melihat sekolah
yang fisiknya terlihat seperti kandang binatang tak terurus. Aku melangkah lunglai di belakang bu indri,
menyoroti tajam setiap sudut bangunan yang hampir tidak ada dinding. Semua
terbuat dari kayu yang mulai rapuh oleh rayap. Hingga akhirnya kudapati sesosok
anak perempuan di suatu kelas.
“ Kamu sendirian?”Kududuki
bangku tua berdebu yang berada tepat di sampingnya. Ia hanya mengangguk.
“Teman-temanmu dimana?”
tanyaku lagi, mencoba sedikit lebih mendekatkan posisi duduk ke arahnya. Namun
ia justru menjauhkan posisi duduknya dariku. Ia hanya menggeleng dan belum mau
menegeluarkan sepatah kata pun.
“ Siapa namamu?” Aku pun
mengulurkan tangan kepadanya.
“ Cut.” Jawabnya tanpa
meraih tanganku. Aku pun mengela napas, “ Kenalkan nama saya Fatmawati. Kamu
boleh panggil saya ibu guru Fatma.”
Ia kemudian memutar bola
mata nya , kala tatapannya tepat mendarat di wajahku. Kusimpulkan senyum
kepadanya dan dengan sedikit keraguan ia pun menyimpulkan sekedarnya.
Baru beberapa menit aku
tiba di sekolah ini. Aku sudah menemukan
banyak hal yang tak mungkin kutemukan di
kota , tempatku berasal. Betapa jauhnya jarak untuk sampai ke sekolah dan
betapa sulitnya medan yang harus ditempuh. Jalanan berdebu dan berbatu sampai
harus menyebrangi laut dengan perahu kayu.
Rupanya ini maksud dari
pembicaraan ayah 1 bulan yang lalu.
“Wahai Indonesia, Tanah
Air tercinta. Saksikanlah perjuangan anak bangsa di pelosok Negeri ini.”Air
mata mulai memenuhi pelupuk mataku, hingga tak dapat lagi terbendung dan
akhirnya menetes sampai perlahan menganak sungai di pipi.
“ Ibu guru fatma kenapa?”
“Tidak , tidak apa cut. “
Segera kuusap air mata itu, dan tersenyum haru menatapnya.
“ Sebentar lagi
kawan-kawan cut datang.” Aku mengangguk dan mengelus kepalanya dengan lembut.
Beberapa menit kemudian ,
beberapa anak mulai berdatangan. Kutatap mereka lekat-lekat. Mereka datang
dengan pakaian lusuh yang basah oleh keringat dan tanpa alas kaki.
“ Mereka belum merdeka.”
Desahku kala itu.
Setelah semuanya datang,
aku pun mulai melaksanakan kegiatan belajar mengajar . semua anak terlihat
sangat bersemangat dan antusias. Tak sedikit pun terlukis rasa lelah di wajah
manis mereka , hanya tergambar jutaan asa yang mereka gantungkan di langit
Negeri Indonesia.
***
Malam kembali hinggap
bersama suasana yang senyap. Gelap berjalan menyelinap. Kupandangi langit malam
yang cerah mengandung rembulan.
“Bu, miris sekali ya
menyaksikan perjuangan anak-anak untuk dapat sampai ke sekolah.” Ujarku memecah
keheningan malam itu.
“Ya begitulah. Itu yang
setiap hari saya saksikan semenjak bencana tsunami 15 tahun lalu“
“Tadi , di kelas saya
bertemu dengan seorang anak, namanya cut. Dia bercerita banyak tentang dirinya,
teman-temannya dan juga keluarganya.”
“Cut merupakan salah satu
korban bencana yang selamat , waktu itu umurnya masih 5 bulan dan kakaknya
berumur 6 tahun. Cut yatim piatu orang tua nya meninggal saat kejadia tersebut.
Anak- anak di desa ini memiliki impian
dan semangat belajar yang sangat tinggi. Namun karena kurangnya perhatian untuk
desa terpencil dan pelosok seperti inilah yang terkadang perlahan meruntuhkan
impian mereka. “Bu indri bangkit dari duduknya dan medekati perapian yang ada
di hadapan kami.
“Selain itu juga , tidak
sedikit orangtua mereka yang melarang anaknya untuk pergi ke sekolah dengan
alasan tidak ada gunanya sekolah negeri dan hanya membuang-buang waktu saja.
Mereka berpikir lebih baik anaknya pergi mengaji di balai atau pergi untuk
mencari ikan membantu orangtuanya bekerja.” Lanjutnya yang membuatku terdiam
tanpa kata. Aku resapi kalimat yang terucap dari bibir bu indri.
“Lalu apa yang harus kita
lakukan, bu?” aku pun bangkit dan mendekati bu indri.
“Jadilah pengajar yang
baik, dan bantu mereka wujudkan jutaan asa itu. Karena mereka pun ingin
merdeka.” Bu indri menepuk pundakku dan kemudia berlalu meninggalkanku sendiri
di depan perapian.
Aku masih terjaga malam
itu, bola mataku masih enggan terpejam. Tidak ada posisi tidur yang terasa nyaman.
Duduk, tidur lagi, duduk, tidur lagi.
Begitu hingga berjam-jam lamanya. Pikiranku kalut, carut marut mendengar
ucapan terakhir bu indri tadi. “karena mereka pun ingin merdeka”
“Apa mereka belum
merdeka?”
“Belum, mereka belum
merdeka!”
“Mereka masih terbelenggu
oleh kebodohan dan terjajah oleh ketidakadilan. Mereka pun harus mendapat kan
pendidikan yang sesuai sebagaimana pendidikan yang ada di ibu kota.” Aku terus
bermonolog sepanjang malam. Kulirik jam tangan yang melingkar di lengan kiriku.
Ternyata waktu telah menunjukkan pukul 3 dini hari. Kupejamkan mata sekali
lagi, tetapi aku teringat pesan ayah “Ketika masalah datang padamu,
Allah tidak menyuruhmu untuk memikirkan masalah tersebut, yang Allah suruh
padamu hanya Sholat dan sabar nak”. Seketika mataku terbuka dan menepis
pikiran-pikiran yang sedari tadi membuat pikiran ini semakin kusut, Aku bangkit
menuju kamar mandi mengambil wudhu dan melaksanakan sholat tahajud.
Ternyata, sisi lain Bumi
pertiwi masih berkabut
Gelap dan carut marut
Merdeka belum menapaki
sudut bumi
Jutaan anak masih bermimpi
Dan Asa belum terpenuhi
***
Mentari mulai mendaratkan
sinarnya. Hangat sinarnya perlahan menyapa tanah berbatu di setiap sudut desa.
Membiaskan cahaya yang sedikit menyilaukan setiap pasang mata. Masih ku dengar
suara riuh burung-burung camar yang berlomba mencari makanan.
Masih di tempat yang sama
, namun dengan semangat yang semakin membara. Perjuangan ini masih panjang,
masih banyak mimpi-mimpi yang tertidur dan tidak sedikit harapan yang gersang.
Aku harus berjuang bersama dengan anak-anak di pelosok negeri ini.
Memperjuangkan mimpi dan harapan. Meraih asa untuk kehidupan yang lebih baik di
masa mendatang.
Di sekolah, aku tak hanya
dianggap sebagai guru, melainkan juga kakak untuk mereka semua. Banyak hal baru
yang aku dapatkan dari mereka, begitupun sebaliknya. Aku bangga dan terharu
dengan semangat mereka. Mereka semua adalah anak-anak yang cerdas dan pantang
menyerah.
“Hari ini ibu mengajak
kalian membuat sesuatu yang Insya Allah akan bermanfaat untuk penduduk desa.”
“Wah apa sesuatu itu bu?”
Hanin terlihat antusias.
“Ada lah, pokoknya
sekarang kalian ikut ibu saja.” Kami pun pergi ke sebuah tanah lapang.
“Kita semua mau apa di
sini? Panas sekali bu di sini.” Cut mengusap peluh di dahinya.
“Sini! Kalian semua
mendekat dan dengarkan ibu baik-baik ya!” Mereka pun saling mendekatkan wajahnya
satu sama lain.
“Di desa ini ibu melihat banyak
sekali limbah kulit kerang yang berserakan di depan rumah-rumah warga. Ibu
ingin mengajak kalian semua untuk membuat limbah kulit kerang itu menjadi
produk kreasi, mulai dari bunga dan guci yang cantik. Tugas kalian sekarang
kumpulkan limbah kerang itu dan kita akan langsung membuatnya bersama-sama ya“
“Baik bu.” Serempak
anak-anak itu menjawabnya dengan semangat.
***
Beberapa bulan kemudian...
“ Anak-anak, kemari
cepat!! Ibu ada kabar gembira untuk kalian.”
“Ada apa ibu? Kenapa ibu
terlihat senang sekali?” tanya cut
“Ibu ada kabar gembira
untuk kalian.”
“Kabar apa itu ibu? Ibu membuat kami penasaran saja.”
Tanya salah seorang murid yang terlihat sangat penasaran.
“Inovasi terbaru kita
telah diterima dengan baik oleh bapak Presiden Republik Indonesia. Dan beliau
akan datang ke desa ini, sekolah kita akan direnovasi dan bapak Presiden akan
kirimkan lebih banyak guru dan buku-buku untuk sekolah kita.” Ujarku sambil
menunjukkan berita yang ada di smartphone milikku.
“Raup Omzet RP.50 Juta
dari kerajinan Limbah Kerang. Wah ibu, pekerjaan kita sudah ada di berita,
Kerajinan yang kita buat sudah terkenal.” Hanin membacakan berita tersebut
hingga semua anak-anak bersorak gembira. Kudekatkan wajahku ke arah mereka. “Kita
berhasil , ibu bangga dengan kalian semua.” Mereka pun memelukku dengan erat.
“Terimakasih juga ibu
sudah bantu kami semua. Kami juga senang sekali, tanpa ibu di sini kami juga
tidak mungkin terpikirkan bisa membuat kerajinan seperti itu.”
“Sama-sama cut.” Ku
simpulkan senyuman terhangat untuk mereka, untuk para anak-anak bangsa yang
gigih berusaha dan pantang menyerah.
Dan akhirnya, semua
harapan perlahan dapat terealisasi.
Berkat inovasi yang kami
berikan untuk negeri, kini sekolah yang dahulu fisiknya seperti kandang
binatang perlahan mulai nampak seperti sekolah pada umumnya. Pun sudah mulai
banyak tenaga pendidik muda yang ditugaskan di desa ini.
Pendidikan di desa ini
sudah terselamatkan dari belenggu kegelapan dan lilitan kebodohan. Kuharap tak
ada lagi bagian dari Indonesia yang masih haus akan pendidikan dan
kesejahteraan.
“Selamat Fatma berkat
Inovasi darimu sekarang ibu-ibu disini bisa mempunyai kerja rumahan dengan
penghasilan sendiri dan anak-anak dapat bersekolah dengan lebih layak. Terus
berjuang untuk wujudkan asa anak-anak
Indonesia ya. “Kupeluk bu indri dengan eratnya. Hingga tak kusadari
kristal bening mulai membanjiri pipiku.
Bukan, ini bukan tangis kesedihan . ini adalah tangis haru kebahagiaan ,
kebahagiaan karena dapat melihat senyum kebahagiaan yang terpancar dari wajah
anak-anak di pelosok indonesia. Terimakasih ya Rabb engkau telah mendengar doa
doaku.
Sejatinya kemerdekaan
adalah milik semua manusia. Terutama mereka yang senantiasa terus berusaha
untuk meraih asa. Kemerdekaan bukan melulu soal terbebas dari penjajah,
melainkan soal kehidupan yang layak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
Semua berhak merdeka termasuk mereka, anak-anak di pelosok negeri Indonesia.
Terima kasih ayah telah
menjadi sosok inspirasi dalam setiap langkahku
Malam tenggelam bersama
rembulan yang pualam
Pancaran surya
membangunkan impian yang kelam
Selalu ada harapan, untuk
sejengkal pengorbanan
Diriku bukan Tuhan, yang
dengan cepat dapat memutar keadaan
Namun Tuhan beriku
kekuatan untuk berjalan dan keluar dari kegelapan
Mencari penerangan dan
kembali gantungkan mimpi Di langit nan tinggi,
Penulis adalah Jatian Draini dari Mahasiswi Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam semester 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar