Breaking News
recent

Dampak Sosial Ekonomi di masa Pandemi COVID-19

Ilustrasi: Google
Essay-Pandemi COVID-19 berdampak luas pada berbagai sektor kehidupan masyarakat,  termasuk bidang sosial dan ekonomi. Dunia saat ini sedang dilanda kecemasan dan kekacauan yang ekstrim akibat munculnya bencana besar yaitu wabah baru Coronavirus yang dikenal dengan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Pada awal Desember 2019, Coronavirus baru muncul di Wuhan, Hubei, China. Perkembangan selanjutnya, COVID-19 telah menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Belum pernah sebelumnya dalam sejarah peradaban manusia ada virus yang menyebar begitu cepat dan agresif ke hampir seluruh belahan dunia hanya dalam waktu sekitar empat bulan sejak pertama kali muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, pada awal Desember 2019. Organisasi Kesehatan Dunia kemudian menyatakan wabah COVID-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020 lalu. Pandemi COVID 19 merupakan masalah utama yang dihadapi di lebih dari 200 negara di dunia, termasuk Indonesia (WHOa, 2020). Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang terpapar virus COVID-19 sejak pertama kali terdeteksi pada 2 Maret 2020.

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengumumkan kasus positif pertama (dan kedua) tertular virus tersebut. Coronavirus baru, atau COVID-19 di Indonesia pada tanggal 2 Maret Belakangan diketahui ada dua orang (perempuan 31 tahun dan perempuan 64 tahun ibu) mengetahui status mereka tertular dari berita dan bahwa Presiden mengumumkan masalah tersebut kepada masyarakat sebelum pejabat kesehatan memberi tahu mereka secara langsung.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka kematian tertinggi akibat COVID-19 dengan angka mencapai 8,9% pada akhir Maret 2020. Kasus kematian akibat COVID-19 di Indonesia bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan China yang hanya 4%. Padahal China merupakan negara tempat COVID -19 pertama kali ditemukan. Tingginya angka kematian akibat COVID-19 ditengarai karena fasilitas kesehatan di Indonesia belum siap menangani pasien yang terjangkit COVID -19. Persiapan besar-besaran harus dilakukan secara serius pada awal mula penyakit yang menyebar di Republik Rakyat China. Padahal sebelumnya, telah memperingatkan semua pihak sejak awal Januari 2020 bahwa COVID-19 bisa menjadi epidemi global dan menyarankan agar rencana kesiapan harus dilakukan dengan memastikan ketersediaan obat-obatan pribadi, alat pelindung diri ( APD), dan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk menangani wabah global.

 

Direktur Eksekutif Health Emergency Program WHO kemudian berpesan agar Indonesia memiliki strategi yang komprehensif termasuk memperkuat sistem kesehatan. Menyikapi pandemi Penyakit Virus Corona (COVID-19) 2019, pemerintah Republik Indonesia mulai memberlakukan pembatasan social distancing (menjaga jarak sosial, menghindari keramaian), dan jarak fisik (menjaga jarak antar orang minimal 1,8 meter) Sejak awal Maret 2020, bahkan beberapa daerah telah menerapkan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB). Dalam ketidakhadiran jarak sosial telah muncul sebagai strategi yang paling banyak diadopsi untuk mitigasi dan pengendalian.

 

Penyebaran COVID-19 sangat berbahaya dan berdampak luas di berbagai sektor, seperti sektor sosial dan ekonomi. COVID berkepanjangan Pandemi19 dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah telah secara drastis mengurangi aktivitas dan pergerakan masyarakat di kota-kota besar. Lebih parah lagi, kebijakan tersebut telah melumpuhkan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat, dimana masyarakat tidak dapat bekerja dan didorong untuk berada di rumah masing-masing. Penelitian tentang pandemi COVID-19 di dunia bahkan di Indonesia sudah banyak dilakukan. Namun, sepanjang penelusuran penyidik, belum ada penelitian yang berfokus pada dampak sosial dan ekonomi dari pandemi COVID-19.

Penyebaran virus corona yang meluas dan cepat membuat pemerintah bereaksi dengan membatasi mobilitas dan interaksi masyarakat. Pabrik dan kantor tutup, sekolah tutup, restoran tidak menerima makanan dan minuman di tempat, dan sebagainya. Semua aktivitas yang membuat orang berkumpul adalah hal yang tabu. Di satu sisi, jarak sosial ini telah menyelamatkan banyak nyawa. Kasus baru terbukti semakin menunjukkan tren penurunan. Namun di sisi lain, social distancing menyebabkan perekonomian terhenti. Akibatnya jutaan orang kehilangan pekerjaan, menjadi 'korban' Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

 

Sedangkan secara nasional, Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani mencatat wabah COVID-19 dapat mengakibatkan hingga 3,78 juta orang jatuh miskin dan 5,2 juta orang kehilangan pekerjaan. Dalam skenario yang lebih optimis, Sri Mulyani memperkirakan 1,1 juta orang jatuh miskin sementara 2,9 juta orang kehilangan pekerjaan. Untuk mengatasi dampak sosial ekonomi dari pandemi COVID-19, Pemerintah Indonesia telah memperkuat dan mengeluarkan kebijakan jaring pengaman sosial. Namun program yang sudah diluncurkan masih kurang memadai. Pasalnya, pemerintah belum membuat kebijakan bantuan tunai yang diyakini paling dibutuhkan oleh masyarakat miskin, fakir miskin, dan mereka yang terkena pandemi virus corona. Kalaupun ada bantuan tunai, jumlahnya terlalu kecil dan targetnya tidak merata.

 

Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Penanganan Penyakit Virus Corona 2019 (COVID-19) dan / atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan / atau Sistem Keuangan Stabilitas, pemerintah Indonesia melakukan upaya untuk mengelola kesehatan, mengelola dampak sosial, dan menyelamatkan perekonomian nasional. Pelayanan kesehatan difokuskan pada upaya penyembuhan pasien corona dengan meningkatkan anggaran kesehatan. Agenda penanganan dampak sosial difokuskan pada penerapan jaring pengaman sosial. Sementara itu, pemulihan ekonomi diarahkan pada pemberian insentif fiskal, kredit, dan moneter.

 

Pemerintah pusat dan daerah juga terlihat kalang kabut menyiapkan program jaminan sosial yang memadai bagi warga dengan kondisi ekonomi rawan karena jumlahnya yang terus bertambah, sementara anggarannya sangat terbatas. Jika keadaan ini terus berlanjut, kemungkinan frustasi dari masyarakat akan berakumulasi menjadi kekecewaan yang dapat meledak menjadi konflik sosial. Rasa frustasi di masyarakat jika tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah akan berujung pada munculnya kekerasan jika kebutuhan dasar tidak dapat terpenuhi. Ini adalah sesuatu yang harus diperhatikan terutama oleh pemerintah. Pemenuhan hak dasar warga negara, baik sandang pangan, hak ekonomi, maupun hak mendapat pekerjaan dan jaminan kesehatan merupakan inti dari upaya menghindari kekerasan atau kerusuhan.

 

Masalah pemenuhan kebutuhan dasar menjadi pemicu utama yang mendorong masyarakat melakukan protes dan melakukan kekerasan. Konsep relative deprivation menjelaskan bahwa masyarakat beranggapan bahwa mereka memiliki hak-hak dasar yang melekat padanya. Di sisi lain, secara de facto, mereka tidak dapat memenuhi semua hak tersebut karena terhalang oleh struktur sosial yang ada di dalamnya.


Penulis : Ardian Kaspari Mahasiswa Prodi Komunkasi dan Penyiaran Islam IAIN Langsa


Admin

Admin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.