Ilustrasi: Google |
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengumumkan kasus positif pertama (dan kedua) tertular virus tersebut. Coronavirus baru, atau COVID-19 di Indonesia pada tanggal 2 Maret Belakangan diketahui ada dua orang (perempuan 31 tahun dan perempuan 64 tahun ibu) mengetahui status mereka tertular dari berita dan bahwa Presiden mengumumkan masalah tersebut kepada masyarakat sebelum pejabat kesehatan memberi tahu mereka secara langsung.
Indonesia
merupakan salah satu negara dengan angka kematian tertinggi akibat COVID-19
dengan angka mencapai 8,9% pada akhir Maret 2020. Kasus kematian akibat
COVID-19 di Indonesia bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan China yang
hanya 4%. Padahal China merupakan negara tempat COVID -19 pertama kali ditemukan. Tingginya angka kematian akibat
COVID-19 ditengarai karena fasilitas kesehatan di Indonesia belum siap
menangani pasien yang terjangkit COVID -19. Persiapan besar-besaran harus
dilakukan secara serius pada awal mula penyakit yang menyebar di Republik
Rakyat China. Padahal sebelumnya, telah memperingatkan semua pihak sejak awal
Januari 2020 bahwa COVID-19 bisa menjadi epidemi global dan menyarankan agar
rencana kesiapan harus dilakukan dengan memastikan ketersediaan obat-obatan
pribadi, alat pelindung diri ( APD), dan sumber daya manusia yang dibutuhkan
untuk menangani wabah global.
Direktur
Eksekutif Health Emergency Program WHO kemudian berpesan agar Indonesia
memiliki strategi yang komprehensif termasuk memperkuat sistem kesehatan.
Menyikapi pandemi Penyakit Virus Corona (COVID-19) 2019, pemerintah Republik
Indonesia mulai memberlakukan pembatasan social distancing (menjaga jarak
sosial, menghindari keramaian), dan jarak fisik (menjaga jarak antar orang
minimal 1,8 meter) Sejak awal Maret 2020, bahkan beberapa daerah telah
menerapkan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB). Dalam ketidakhadiran jarak
sosial telah muncul sebagai strategi yang paling banyak diadopsi untuk mitigasi
dan pengendalian.
Penyebaran
COVID-19 sangat berbahaya dan berdampak luas di berbagai sektor, seperti sektor
sosial dan ekonomi. COVID berkepanjangan Pandemi19 dan
kebijakan yang diambil oleh pemerintah telah secara drastis mengurangi
aktivitas dan pergerakan masyarakat di kota-kota besar. Lebih parah lagi,
kebijakan tersebut telah melumpuhkan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat,
dimana masyarakat tidak dapat bekerja dan didorong untuk berada di rumah
masing-masing. Penelitian tentang pandemi COVID-19 di dunia bahkan di Indonesia
sudah banyak dilakukan. Namun, sepanjang penelusuran penyidik, belum ada
penelitian yang berfokus pada dampak sosial dan ekonomi dari pandemi COVID-19.
Penyebaran
virus corona yang meluas dan cepat membuat pemerintah bereaksi dengan membatasi
mobilitas dan interaksi masyarakat. Pabrik dan kantor tutup, sekolah tutup,
restoran tidak menerima makanan dan minuman di tempat, dan sebagainya. Semua
aktivitas yang membuat orang berkumpul adalah hal yang tabu. Di satu sisi,
jarak sosial ini telah menyelamatkan banyak nyawa. Kasus baru terbukti semakin
menunjukkan tren penurunan. Namun di sisi lain, social distancing menyebabkan
perekonomian terhenti. Akibatnya jutaan orang kehilangan pekerjaan, menjadi
'korban' Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Sedangkan
secara nasional, Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani mencatat wabah
COVID-19 dapat mengakibatkan hingga 3,78 juta orang jatuh miskin dan 5,2 juta
orang kehilangan pekerjaan. Dalam skenario yang lebih optimis, Sri Mulyani
memperkirakan 1,1 juta orang jatuh miskin sementara 2,9 juta orang kehilangan
pekerjaan. Untuk mengatasi dampak sosial ekonomi dari pandemi COVID-19,
Pemerintah Indonesia telah memperkuat dan mengeluarkan kebijakan jaring
pengaman sosial. Namun program yang sudah diluncurkan masih kurang memadai.
Pasalnya, pemerintah belum membuat kebijakan bantuan tunai yang diyakini paling
dibutuhkan oleh masyarakat miskin, fakir miskin, dan mereka yang terkena
pandemi virus corona. Kalaupun ada bantuan tunai, jumlahnya terlalu kecil dan
targetnya tidak merata.
Melalui
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Penanganan Penyakit
Virus Corona 2019 (COVID-19) dan / atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan / atau Sistem Keuangan Stabilitas,
pemerintah Indonesia melakukan upaya untuk mengelola kesehatan, mengelola
dampak sosial, dan menyelamatkan perekonomian nasional. Pelayanan kesehatan
difokuskan pada upaya penyembuhan pasien corona dengan meningkatkan anggaran
kesehatan. Agenda penanganan dampak sosial difokuskan pada penerapan jaring
pengaman sosial. Sementara itu, pemulihan ekonomi diarahkan pada pemberian
insentif fiskal, kredit, dan moneter.
Pemerintah
pusat dan daerah juga terlihat kalang kabut menyiapkan program jaminan sosial
yang memadai bagi warga dengan kondisi ekonomi rawan karena jumlahnya yang
terus bertambah, sementara anggarannya sangat terbatas. Jika keadaan ini terus
berlanjut, kemungkinan frustasi dari masyarakat akan berakumulasi menjadi
kekecewaan yang dapat meledak menjadi konflik sosial. Rasa frustasi di
masyarakat jika tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah akan berujung pada
munculnya kekerasan jika kebutuhan dasar tidak dapat terpenuhi. Ini adalah
sesuatu yang harus diperhatikan terutama oleh pemerintah. Pemenuhan hak dasar
warga negara, baik sandang pangan, hak ekonomi, maupun hak mendapat pekerjaan
dan jaminan kesehatan merupakan inti dari upaya menghindari kekerasan atau
kerusuhan.
Masalah
pemenuhan kebutuhan dasar menjadi pemicu utama yang mendorong masyarakat
melakukan protes dan melakukan kekerasan. Konsep relative deprivation
menjelaskan bahwa masyarakat beranggapan bahwa mereka memiliki
hak-hak dasar yang melekat padanya. Di sisi lain, secara de facto, mereka tidak
dapat memenuhi semua hak tersebut karena terhalang oleh struktur sosial yang
ada di dalamnya.
Penulis : Ardian Kaspari Mahasiswa Prodi Komunkasi dan Penyiaran Islam IAIN Langsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar