Foto : Doc.Istimewa |
Zawiyah News | Serba Serbi - Daerah Aceh adalah daerah yang beribukotakan Banda Aceh. Yang
terletak dibagian paling barat kepulauan Nusantara. Daerah Aceh dulunya dikenal
sebagai tempat persinggahan para pedagang Cina, Eropa, India, dan Arab,
sehingga menjadikan daerah Aceh tempat pertama masuknya budaya dan agama di
Nusantara. Masuknya Agama Islam pertama di Indonesia dan timbul sebagai
kerajaan Islam yaitu di Peurelak dan Pasai. Budaya Aceh terdapat beragam macam
yang bisa dikatakan unik. Salah satu budaya Aceh yang unik yaitu budaya makan
ranup hidup di Aceh. Budaya makan ranup tersebut merupkan sebuah warisan yang
sudah ada sejak zaman kakek moyang orang Aceh. Yang mana tradisi tersebut yaitu
kebiasaan orang tua zaman dulu untuk makan sirih yang didalam sirih tersebut
terdapat biji pinang, gambir, dan sedikit kapur ranup, dibalut dengan daun
sirih, yang yakini bisa memperkuat gigi dan gusi.
Tradisi makan ranup atau biasanya dikatakan menyirih dibawa oleh
orang-orang melayu kira-kira sejak 500 tahun sebelu Masehi ke beberapa negara
yang terdapat di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Yang mendukung budaya
menyirih ini banyak hidup di Asia Tenggara yang terdiri dari berbagai golongan
termasuk masyrakat bawah sampai pembesar dan kalangan istana pada zaman dulu. Bagi
masyarakat khususnya Aceh, ranup memiliki nilai yang tinggi, karena dengan
adanya ranup yang dimakan dengan gambir, pinang dan sedikit kapur ranup akan
menaikkan semangat kepahlawanan yang akan berjuang. Pada masa kesultanan Aceh,
ranup menempati peranan yang mana digunakan sebagai upacara-upacara kebesaran
sultan.
Sirih yang dalam bahasa Aceh sering disebut Ranup, yaitu terbuat
dari bahan pinang, gambir, kapur ranup kemudian dibalut dengan daun sirih yang
bisa dimakan dan menjadi makanan khas Aceh sejak dulu. Sirih juga suatu simbol
bagi masyarakat Aceh untuk memuliakan tamu saat datang kerumah. Zaman dulu
setiap tamu yang datang kerumah selalu dihidangkan ranup lam bate (ranup dalam
satu wadah yang khusus), sebagai makanan yang bertujuan untuk memuliakan tamu.
Sirih juga digunakan pada saat seseorang menjelang persalinan.
Keluarga calon bayi akan mendatangi seorang bidan. Kedatangan ini dinamakan
oleh masyarakat dengan Peunulung yan artinya menyerahkan hidup dan
matinya sang ibu dan juga sang bayi kepada bidan. Adat ini dilaksanakan dengan
membawa beberapa hantaran diantaranya yaitu ranup setepak. Ada juga masyarakat
mengadakan upacara antar mengaji. Dalam masyarakat Aceh jika hendak mengantar
anak mengaji pertama kali diharuskan anak tersebut di peusijuk dan dibekali
dengan bawaan yang akan diberikan kepada tengku yang akan mengajar anak
tersebut diantaranya akan dibekali ranup seuseupuh (Ranup Seikat), dan bulekat
kuneng, manok panggang (ketan kuning), hingga enam hasta
ija puteh (enak hasta kain putih).
Dulu sirih juga digunakan sebagai cara mengundang orang jika ada
acara hajatan dirumah, orang yang mengadakan hajatan mendatangi setiap rumah
untuk mengundang dengan membawa sirih. Dalam adat perkawinanyang ada di Aceh,
sirih juga menjadi salah satu hal yan harus ada, mulai dari acara lamaran
hingga sampai acara resepsi atau biasa disebut dengan intat linto
baro. Dengan berkembangnya zaman, sirih pada zaman dulu dan sekarang
tentu berbeda bentuk, bentuk sirih untuk acara perkawinan dizaman sekarang
sudah banyak dan beragam macam, mulai dari bentuk topi meukutup, bentuk tas,
keranjang dan, bentuk yang lainnya. Seorang gadis di daerah Aceh akan sah
menjadi calon istri seorang laki-laki ditandai dengan diantaranya ranup oleh
keluarga laki-laki kerumah sang gadis.
Budaya dan adat yang ada di Aceh merupakan sebuah identitas bagi
masyarakat Aceh, oleh karena itu setiap generasi muda berkewajiban melestarikan
dan mengembangkan nilai budaya tersebut. Sirih ranup salah satu budaya yang dianggap penting dan memiliki nilai yang
tinggi yang biasanya terdapat pada upacara pertunangan dan perkawinan yang ada
dimasyarakat Aceh.
Salah satu pengrajin sirih hias di Kota Langsa khusunya di Kp Blang
Pase “Ibu Cut” mengatakan bahwa, Sirih yang ada pada acara perkawinan saat ini
sudah banyak berkembang dari pada sirih yang ada pada saat dulu, yang dulunya
hanya sirih yang berisikan pinang, gambir, dan kapur ranup lalu diatur diatas
ranup bate. Tapi sekarang bentuk ranup untuk acara perkawinan sudah banyak
dengan berbagai bentuk, dari bentuk tas, keranjang, hingga pohon kecil tapi
tetap yang menjadi primadona yaitu bentuk topi meukutup (Topi Teuku Umar).
Tetapi tetap disertakan dengan sirih yang berisikan pinang, gambir, dan kapur
sirih. Membuat sirih hias yang sekarang memiliki lebih banyak bahan, seperti
cerana, gunting, pisau, kardus, jarum pentul, batang pisang, dan yang paling
penting yaitu daun sirih. Yang mana cara pembuatannya lebih rumit, serta disesuaikan
dengan keahlian dan permintaan pemesanan.
Sirih yang dijadikan adat saat acara perkawinan memiliki beberapa
tahapan, yaitu meminang, tunangan, dan acara resepsi. Tahapan resepsi di
laksanakan sesudah akad nikah. Acara dilakukan oleh pihak dara baro (mempelai
wanita). Acara yang dilakukan ini dinamakan dengan preh linto baro (mempelai
pria). Dalam acara ini lah sirih/ranup hias dibawa kerumah dara baro. Pada
acara tunangan juga ada yang membawa sirih hias, tapi orang-orang lebih sering
membawa sirih hias pada acara resepsi atau preh linto baro. Pada acara ini
masyarakat juga membawa ranup bate sebagai bentuk melestarikan budaya yang
sudah ada sejak dulu “ujar ibu Cut pengrajin sirih hias”.
Salah seorang yang pernah memesan sirih hias dengan ibu Cut,
memberikan alasan mengapa dia lebih memilih ranup hias dibandingan ranup sirih
yang biasa saja. Sebut namanya “Auliya Yulistiana”, alasan ibu Auliya mengapa
memesan sirih hias yaitu dikarenakan sirih hias lebih menarik dan lebih cantik
untuk dipandang. Juga telihat berbeda dari biasanya, dikarenakan dia ingin
sesuatu yang berbeda. Dan beliau juga memberi alasan, agar acara pernikahan
saudaranya tersebut mengukuti tren yang ada dizaman sekarang, yang mana jika
membawa sirih/ranup dengan bentuk yang cantik dan khas.
Demi untuk mepertahankan budaya sirih hias ini, terkadang para pengrajin
sirih hias khusunya ibu Cut selalu bersedia jika ada sekumpulan orang ingin
belajar bagaimana cara membuat sirih hias. Disamping untuk mempertahankan dan
mengembang kan budaya yang sudah ada, ini juga menjadi salah satu peluang untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat. Jika ada beberapa masyarakat khususnya
disuatu kampung ada yang ahli membuat sirih hias, maka warga kampung yang
lainnya bisa menyewa jasa pembuat sirih hias tersebut dan ia pun
mendapatkan hasil dari hasil sirih hias
tersebut. Jika orang tersebut mampu mengembangkan keahliannya kepada orang
banyak lagi, maka dapat membuat peluang pekerjaan bagi orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar